ilham kurnia
Sabtu, 29 April 2017
Kamis, 21 Maret 2013
MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN
MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia
merupakan pernyataan resmi kemerdekaan bangsa. Peristiwa ini terjadi
tepat pukul 10.00, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno didampingi Drs. Moh.
Hatta. Bersamaan pula dengan pengibaran bendera MERAH PUTIH yang
dikibarkan oleh S.Suhud dan Latief Hendraningrat diiringi lagu INDONESIA
RAYA dinyanyikan secara spontan. Dengan itu, Bangsa Indonesia telah menjadi Negara yang Merdeka dan Berdaulat.
Bangsa
Indonesia menyatakan secara resmi kepada rakyat Indonesia dan Dunia
Internasional, bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka,
lepas dari
kekuasaan penjajah. Sejak saat itu Bangsa Indonesia
mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan tanah airnya
dalam segala bidang. Dalam hokum, Bangsa Indonesia akan membentuk
hukumnya sendiri, lepas dari hokum penjajah.
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai 2 makna bagi Indonesia, yaitu mulai saat itu :
a.
Berdiri Negara baru, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Artinya selama beratus-ratus tahun secara berturut-turut Indonesia dalam
kekuasaan penjajah Portugis, Belanda, dan Jepang.Baru sejak merdeka,
Indonesia secara resmi memiliki Negara sendiri.
b. Tata
hukum dan tata Negara baru, yaitu tata hukum dan Negara. Artinya
sebelum proklamasi Indonesia menggunakan tata hukum dan Negara milik
penjajah. Sejak proklamasi, Indonesia secara resmi memiliki tat hokum
dan Negara sendiri.
Satu hari setelah proklamasi peserta sidang PPKI menerima dan mengesahkan dengan suara bulat :
a. Rumusan definitif Pembukaan UUD yang mengandung rumusan Pancasila yang otentik sebagai Dasar Negara.
b. Batang Tubuh UUD, yang dikenal UUD 1945.
c. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Soekarno dan Hatta.
d.Bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
USAHA PEMERINTAH RI DALAM MELENGKAPI ALAT PEMERINTAHAN DAN NEGARA
Sebagai
Negara yang baru merdeka Indonesia belum memiliki pemimpin dan
pemerintahan yang berdaulat, oleh karena itu diadakan sidang PPKI dalam
upaya pembentukan pemerintahan, alat kelengkapan, dan keamanan negara
Indonesia.
1. Sidang tanggal 18 Agustus1945, menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a. Mengesahkan dan menetapkan UUD RI yang dikenal dengan nama UUD 1945.
b. Memilih dan menetapkan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden (secara aklamasi)
c. Pembentukan Komite Nasional untuk membantu pekerjaan presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR.
- Pembagian wilayah Indonesia
Menetapkan wilayah Indonesia menjadi 8 propinsi dengan 2 daerah istimewa beserta gubernurnya, yaitu :
a) Jawa Barat : Sutardjo Kartohadikusumo
b) Jawa Tengah : R. Panji Soeroso
c) Jawa Timur : R.A Soerjo
d) Kalimantan : Ir. Mohammad Noor
e) Sulawesi : Dr. Sam Ratulangi
f) Maluku : Mr. J. Latuharhary
g) Sunda Kecil : Mr. I Gusti Ketut Pudja
h) Sumatera : Mr. Teuku Moh. Hasan
i) Dua daerah istimewa yaitu Yogyakarta dan Surakarta
- Pembentukan Dpartemen dan Kementrian
Pembentukan 12 Departemen dan 4 kementrian negara untuk membantu presiden.
a) Departemen Dalam Negeri : Wiranata Kusumah
b) Departemen Luar Negeri : Ahmad Subardjo
c) Departemen Kehakiman : Dr. Soepomo
d) Departemen Keuangan : A.A Maramis
e) Departemen Kemakmuran : Ir. Surachman Tjokrodisuryo
f) Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
g) Departemen Penerangan : Amir Syarifudin
h) Departemen Sosial : Iwa Kusumasumantri
i) Departemen Pertahanan : Supriyadi
j) Departemen Kesehatan : Boentaran Martoatmodjo
k) Departemen Perhubungan : Abikusno Tjokrosujoso
l) Departemen Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso
m) Menteri Negara : Wachid Hasyim
n) Menteri Negara : R.M Sartono
o) Menteri Negara : M. Amir
p) Menteri Negara : R. Otto Iskandardinata
3. Sidang tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk tiga badan yaitu :
- Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI)
Dibentuk
komite nasional sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa
Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan yang didasarkan kedaulaan
rakyat. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berkedudukan di Jakarta,
sedangkan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) berkedudukan di
ibukota propinsi. Tanggal 29 Agustus 1945, Presiden Sukarno melantik 135
anggota KNIP di Gedung Kesenian Jakarta dengan ketua Kasman
Singodimejo.
- Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI)
Awalnya
PNI dibentuk sebagai partai tunggal di Indonesia tetapi keputusan
tersebut ditunda hingga tanggal 31 Agustus 1945. Tujuan PNI adalah
mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur
berdasarkan kedaulatan rakyat.
- Pembentukan Tentara Kebangsaan
Sehubungan dengan pembentukan Tentara Kebangsaan maka dibentuk Badan Keamanan Rakyat/ BKR (23
Agustus 1945) yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari badan
penolong keluarga korban perang. Badan ini ditujukan untuk memelihara
keselamatan rakyat. BKR dibentuk sebagai pengganti Badan Penolong
Korban Perang (BPKP). BKR terdiri dari BKR pusat dan BKR daerah.
Akhirnya
karena desakan para pemuda anggota BKR maka dibentuk tentara kebangsaan
yang diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada 25 Januari 1946 TKR berganti nama menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI) dalam upaya untuk mendirikan tentara yang percaya pada
kekuatan sendiri. Pada 3 Juni 1947, TRI berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dengan tujuan untuk membentuk tentara kebangsaan yang benar-benar
profesional siap untuk mengamankan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
Komite Nasional Indonesia Pusat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Komite Nasional Indonesia Pusat (sering disingkat dengan KNIP) dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950.[1]
KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri
dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.[2]
KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.[1]
Daftar isi |
Pimpinan dan anggota
Anggota KNIP terdiri dari 137 orang, dimana yang bertindak sebagai pimpinan adalah:[1][2]- Mr. Kasman Singodimedjo - Ketua
- M. Sutardjo Kartohadikusumo - Wakil Ketua I
- Mr. J. Latuharhary - Wakil Ketua II
- Adam Malik - Wakil Ketua III
Badan Pekerja
Berhubung dengan keadaan dalam negeri yang genting, pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh satu Badan Pekerja, yang keanggotaannya dipilih dikalangan anggota, dan bertanggung jawab kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) ini diketuai oleh Sutan Sjahrir dan beranggotakan 28 orang.[3][4]Maklumat Wakil Presiden
Atas usulan KNIP, dalam sidangnya pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jakarta[3], diterbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (dibaca : eks) Tanggal 16 Oktober 1945, yang dalam diktumnya berbunyi:[2]“ | Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. | ” |
Sidang-sidang
KNIP telah mengadakan sidang-sidang di antaranya adalah:[1]- Sidang Pleno ke-2 di Jakarta tanggal 16 - 17 Oktober 1945[4]
- Sidang Pleno ke-3 di Jakarta tanggal 25 - 27 November 1945.[4]
- Kota Solo pada tahun 1946,
- Sidang Pleno ke-5 di Kota Malang pada tanggal 25 Februari - 6 Maret 1947[4], dan
- Yogyakarta tahun 1949.
Referensi
Sumber
- ^ a b c d Sejarah DPR RI. www.dpr.go.id, diakses pada 1 Juni 2008
- ^ a b c d Perkembangan Kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. www.mpr.go.id, diakses pada 1 Juni 2008
- ^ a b Dini S. Setyowati. Putra Fajar, Menuju Jalan Perundingan
- ^ a b c d M. Sjafe'i Hassanbasari. Dekrit dan Maklumat yang Pernah Ada. Kompas, 26 Juni 2001
Lihat pula
Badan Keamanan Rakyat
Badan Keamanan Rakyat (disingkat BKR) adalah angkatan bersenjata pertama yang dibentuk setelah Indonesia merdeka. Pembentukan BKR dilakukan melalui sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.
Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Yang diangkat menjadi komandan BKR adalah Arudji Kartawinata . Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Yang diangkat menjadi komandan BKR adalah Arudji Kartawinata . Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Landasan Hukum dan Sejarah Terbentuknya TNI
Awal mula terjadinya terbentuknya TNI tidak bisa
dilepaskan dari konteks perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah.
Seperti diketahui indonesia mengalami penjajahan selama lebih dari tiga
setengah abad, yang kemudian diakhiri dengan perjuangan panjang rakyat
Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan Penjajah.
Sebelum kemerdekaan, rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan dalam penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun, dalam kurun waktu tersebut dibentuklah PETA dan HEIHO oleh Jepang. Perjuangan kemerdekaan pada kurun waktu tersebut masih bersifat sporadis, walaupun dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia dan organisasi perlawanan dalam bentuk laskar-laskar perjuangan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, berdasarkan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus tahun 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdiri dari bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho dan PETA serta berasal dari rakyat, yaitu barisan pemuda, Hisbullah, Sabillilah dan Pelopor. Dengan itu terintregasi pula laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar diberbagai daerah, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang keseluruhannya terhimpun dalam BKR.
Seiring dengan kebutuhan dan perkembangan organisasi dilakukan penyempurnaan organisasi BKR. Langkah penyempurnaan tersebut adalah penataan ulang untuk mendukung profesionalisme dan mengakomodasi potensi kekuatan perjuangan. BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober tahun 1945. TKR kemudian berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 3 juni tahun 1947 TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Adanya keputusan PPKI dan Keputusan Presiden pada waktu itu maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya organisasi militer sebenarnya lahir dari keputusan otoritas sipil.
Perkembangannya, pada tanggal 21 Juni tahun 1962, TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada era reformasi, yaitu pada tahun 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian sebagai amanat dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dibuat Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 yang mengatur mengenai TNI.
Sebelum kemerdekaan, rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan dalam penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun, dalam kurun waktu tersebut dibentuklah PETA dan HEIHO oleh Jepang. Perjuangan kemerdekaan pada kurun waktu tersebut masih bersifat sporadis, walaupun dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia dan organisasi perlawanan dalam bentuk laskar-laskar perjuangan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, berdasarkan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus tahun 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdiri dari bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho dan PETA serta berasal dari rakyat, yaitu barisan pemuda, Hisbullah, Sabillilah dan Pelopor. Dengan itu terintregasi pula laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar diberbagai daerah, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang keseluruhannya terhimpun dalam BKR.
Seiring dengan kebutuhan dan perkembangan organisasi dilakukan penyempurnaan organisasi BKR. Langkah penyempurnaan tersebut adalah penataan ulang untuk mendukung profesionalisme dan mengakomodasi potensi kekuatan perjuangan. BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober tahun 1945. TKR kemudian berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 3 juni tahun 1947 TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Adanya keputusan PPKI dan Keputusan Presiden pada waktu itu maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya organisasi militer sebenarnya lahir dari keputusan otoritas sipil.
Perkembangannya, pada tanggal 21 Juni tahun 1962, TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada era reformasi, yaitu pada tahun 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian sebagai amanat dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dibuat Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 yang mengatur mengenai TNI.
Pengirim : Lenterak
Website : http://lenterakecil.com
Website : http://lenterakecil.com
isi maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945
Dekrit
Presiden yang paling terkenal di Indonesia adalah Dekrit Presiden
Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, diucapkan pada
hari Minggu tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi tiga hal.
- Pertama, pembubaran Konstituante.
- Kedua, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950).
o Ketiga,
pembentukan MPR Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR
ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta
pembentukan DPA Sementara akan diselenggarakan dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Atas nasihat/saran Ketua Mahkamah Agung (MA) Wirjono Prodjodikoro SH, dekrit tersebut diberi "baju hukum" berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959 berjudul "Dekrit Presiden /Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945", dimuat dalam LN No 75/1959. Isi Keppres persis sama dengan bunyi dekrit.
Atas nasihat/saran Ketua Mahkamah Agung (MA) Wirjono Prodjodikoro SH, dekrit tersebut diberi "baju hukum" berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959 berjudul "Dekrit Presiden /Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945", dimuat dalam LN No 75/1959. Isi Keppres persis sama dengan bunyi dekrit.
Proses lahirnya Dekrit Presiden ini diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan menteri agama lima kali berturut-turut pada lima kabinet: 6 Maret 1962 - 25 Juli 1966, almarhum). Dalam bukunya, Berangkat dari Pesantren itu ia bercerita. Suatu malam awal bulan Juli 1959 ia ditelepon oleh Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid agar datang ke kediamannya di Jalan Djokdja (sekarang Jalan Mangunsarkoro) No 51. Sebagai Sekjen PBNU ia diminta menemani Idham Chalid yang akan kedatangan tamu sangat penting. Selepas pukul 02.00 dini hari tibalah KSAD, Jenderal A H Nasution, dan Komandan Corps Polisi Militer (CPM) Letkol (CPM) R Rusli.
Kedatangan KSAD dan Komandan CPM itu khusus minta saran NU sehubungan dengan keberangkatan mereka ke Tokyo (Jepang) menghadap Presiden Soekarno yang sedang berobat. Misi yang mereka emban adalah mengusulkan kepada Presiden agar UUD 1945 diberlakukan melalui Dekrit Presiden. Mereka juga minta masukan tentang materi apa yang perlu dimasukkan dalam dekrit. "Isinya terserah pemerintah tetapi hendaknya memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante," kata Pak Idham Chalid.
Jenderal
A H Nasution bertanya, "Apa konkretnya tuntutan golongan Islam itu?"
Pertanyaan ini dijawab Saifuddin Zuhri, "Agar Piagam Djakarta diakui
kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945." "Bagaimana sikap NU
apabila Presiden menempuh jalan dekrit?" tanya Nasution. "Kami tidak
bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan
bangsa," jawab Pak Idham Chalid.
Pengumuman DPR dalam sidang tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyetujui Dekrit Presiden. Jenderal A H Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, keputusan DPR itu sesuai dengan hasil rembugan pimpinan AD dengan pimpinan empat partai besar sebelum Dekrit Presiden.
Salah satu tindakan Presiden Soekarno sebelum dekrit adalah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 29 Juni 1959, yang berisi pengambilan kembali kekuasaan pemerintah oleh Presiden dari tangan kabinet (14 November 1945, pembentukan Kabinet Sjahrir I).
Mengacu pada buku Saifuddin Zuhri, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebetulnya bukanlah yang pertama diberlakukan di Republik Indonesia. Hampir 13 tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari 200 orang (sesuai Peraturan Pemerintah No 2/1946 - Red) menjadi 514 orang. Kebijakan pemerintah dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947) ini terkait dengan ratifikasi Perundingan Linggarjati.
Menurut Saifuddin Zuhri, kelompok yang pro menamakan diri "Sayap Kiri", terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didukung pula oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Kelompok yang anti menamakan diri "Benteng Republik" terdiri dari Masjumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (Bung Tomo). Di dalam Masjumi dan PNI ada perpecahan, ada yang di "Sayap Kiri" ada yang di "Benteng Republik".
Versi lain terdapat dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (disusun oleh Sekretariat DPR-GR, 1970). Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Desember 1946 adalah dikeluarkannya Maklumat Presiden tentang ditetapkannya Peraturan Presiden No 6/1946 tentang Penyempurnaan Komite Nasional Pusat (KNP, penamaan lain untuk KNIP). Maklumat Presiden itu berisi pengangkatan anggota tambahan KNP sebanyak 256 orang, sehingga jumlah anggota KNP menjadi 407 orang. Jadi bukan dekrit. Maklumat Presiden ini diumumkan dalam penerbitan resmi pemerintah, Berita Republik Indonesia.
Penambahan jumlah anggota KNP yang menurut pendirian pemerintah merupakan hak prerogatif presiden ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, Badan Pekerja KNP maupun KNP. Kelompok-kelompok yang menentang Peraturan Presiden No 6/1946 menyangkal tentang adanya hak prerogatif presiden. Mereka yang duduk di Badan Pekerja KNP menyusun Usul Inisiatif RUU Pembatalan Peraturan Presiden.
Menurut Saifuddin Zuhri, dalam Sidang ke V KNIP di Malang (25 Februari - 6 Maret 1947) terjadi perdebatan sengit antara kekuatan kelompok yang pro dan anti-Linggarjati yang juga menolak dekrit. Terjadilah dead lock atau jalan buntu.
Pengumuman DPR dalam sidang tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyetujui Dekrit Presiden. Jenderal A H Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, keputusan DPR itu sesuai dengan hasil rembugan pimpinan AD dengan pimpinan empat partai besar sebelum Dekrit Presiden.
Salah satu tindakan Presiden Soekarno sebelum dekrit adalah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 29 Juni 1959, yang berisi pengambilan kembali kekuasaan pemerintah oleh Presiden dari tangan kabinet (14 November 1945, pembentukan Kabinet Sjahrir I).
Mengacu pada buku Saifuddin Zuhri, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebetulnya bukanlah yang pertama diberlakukan di Republik Indonesia. Hampir 13 tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari 200 orang (sesuai Peraturan Pemerintah No 2/1946 - Red) menjadi 514 orang. Kebijakan pemerintah dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947) ini terkait dengan ratifikasi Perundingan Linggarjati.
Menurut Saifuddin Zuhri, kelompok yang pro menamakan diri "Sayap Kiri", terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didukung pula oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Kelompok yang anti menamakan diri "Benteng Republik" terdiri dari Masjumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (Bung Tomo). Di dalam Masjumi dan PNI ada perpecahan, ada yang di "Sayap Kiri" ada yang di "Benteng Republik".
Versi lain terdapat dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (disusun oleh Sekretariat DPR-GR, 1970). Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Desember 1946 adalah dikeluarkannya Maklumat Presiden tentang ditetapkannya Peraturan Presiden No 6/1946 tentang Penyempurnaan Komite Nasional Pusat (KNP, penamaan lain untuk KNIP). Maklumat Presiden itu berisi pengangkatan anggota tambahan KNP sebanyak 256 orang, sehingga jumlah anggota KNP menjadi 407 orang. Jadi bukan dekrit. Maklumat Presiden ini diumumkan dalam penerbitan resmi pemerintah, Berita Republik Indonesia.
Penambahan jumlah anggota KNP yang menurut pendirian pemerintah merupakan hak prerogatif presiden ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, Badan Pekerja KNP maupun KNP. Kelompok-kelompok yang menentang Peraturan Presiden No 6/1946 menyangkal tentang adanya hak prerogatif presiden. Mereka yang duduk di Badan Pekerja KNP menyusun Usul Inisiatif RUU Pembatalan Peraturan Presiden.
Menurut Saifuddin Zuhri, dalam Sidang ke V KNIP di Malang (25 Februari - 6 Maret 1947) terjadi perdebatan sengit antara kekuatan kelompok yang pro dan anti-Linggarjati yang juga menolak dekrit. Terjadilah dead lock atau jalan buntu.
Wakil
Presiden Moh Hatta kemudian mengeluarkan ultimatum: "Pilih Presiden dan
Wakil Presiden atau menolak dekrit.” Artinya, kalau dekrit ditolak maka
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta akan meletakkan jabatan.
Dalam
buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat, ultimatum Wakil Presiden
itu ditulis, "Lebih baik oleh KNP dicari Presiden dan Wakil Presiden
lain, kalau Peraturan Presiden No 6/1946 tidak disetujui." Akhirnya dead
lock pun terurai, dan Perundingan Linggarjati berhasil diratifikasi.
Cerita tentang maklumat
Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45 berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Kedudukan Komite Nasional yang untuk sementara bertugas membantu Presiden-berarti melaksanakan fungsi eksekutif- ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sementara golongan masyarakat, mencuat pada Sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta.
Dalam sidang ini Sutan Sjahrir dan kawan-kawan. mengajukan usul kepada pemerintah mengenai perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45:
1). Sebelum terbentuk MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
Cerita tentang maklumat
Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45 berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Kedudukan Komite Nasional yang untuk sementara bertugas membantu Presiden-berarti melaksanakan fungsi eksekutif- ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sementara golongan masyarakat, mencuat pada Sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta.
Dalam sidang ini Sutan Sjahrir dan kawan-kawan. mengajukan usul kepada pemerintah mengenai perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45:
1). Sebelum terbentuk MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2)
Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP
dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara dan
bertanggung jawab kepada KNP.
Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir sebagai wakil pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal 16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan improvisasi. Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif.
Dengan perubahan ini KNP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45, sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara (tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).
Sebagai tidak lanjut dari diktum kedua Maklumat Wakil Presiden No. X itu, Sidang KNP tanggal 17 Oktober 1945 membentuk Badan Pekerja beranggotakan 15 orang yang melakukan tugas sehari-hari KNP. Salah satu tindakan BP-KNP melaksanakan tugas KNP sesuai rumusan "ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara", adalah usulnya kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negari. Usul diterima pemerintah dan dikeluarkanlah "Maklumat Politik" 1 Novem-ber 1945.
Badan Pekerja KNP juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Maka pemerintah pun mengeluarkan maklumat tentang hal itu dengan ketentuan partai-partai politik itu harus turut memperhebat perjuangan Republik Indonesia.
Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir sebagai wakil pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal 16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan improvisasi. Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif.
Dengan perubahan ini KNP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45, sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara (tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).
Sebagai tidak lanjut dari diktum kedua Maklumat Wakil Presiden No. X itu, Sidang KNP tanggal 17 Oktober 1945 membentuk Badan Pekerja beranggotakan 15 orang yang melakukan tugas sehari-hari KNP. Salah satu tindakan BP-KNP melaksanakan tugas KNP sesuai rumusan "ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara", adalah usulnya kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negari. Usul diterima pemerintah dan dikeluarkanlah "Maklumat Politik" 1 Novem-ber 1945.
Badan Pekerja KNP juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Maka pemerintah pun mengeluarkan maklumat tentang hal itu dengan ketentuan partai-partai politik itu harus turut memperhebat perjuangan Republik Indonesia.
Bunyi maklumat yang dinamai Maklumat Pemerintah 3 November 1945:
1)
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan
adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala
aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2)
Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan
ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946.
Anjuran pemerintah ini ditanggapi antusias oleh kaum politisi dengan mendirikan partai.
Perkembangan politik selanjutnya, Badan Pekerja KNP (BP-KNP) mengusulkan agar menteri bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat). Usul tentang pertanggungjawaban menteri itu dijelaskan oleh BP-KNP melalui Pengumuman No.5 tanggal 11 November 1945. Usul ini pun disetujui Presiden Soekarno, dan sebagai konsekuensinya pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensiil diganti dengan Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946). Sejak itu adagium "The King can do no wrong" berlaku dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.
Dalam "Maklumat Pemerintah" ini antara lain dinyatakan, "Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri."
Menpen Mr Amir Sjarifuddin pada 24 November 1945 memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perubahan pertanggungjawaban menteri itu. KNP yang melaksanakan sidang ke III di Jakarta 25-27 November 1945 juga menyetujui perubahan ini dengan membuat rumusan, "Membenarkan kebidjaksanaan Presiden perihal mendudukkan Perdana Menteri dan Menteri-menteri jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat sebagai suatu langkah jang tidak dilarang oleh Undang2 Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang."
Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden tidak disebut dalam Tap MPR No XX/MPRS /1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden merupakan pengumuman dari presiden untuk melaksanakan UUD, melaksanakan Tap MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah. Apakah perlu diberi "baju hukum" seperti terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hukum Tata Negara yang seharusnya menjawab. (M Sjafe'i Hassanbasari)
Perkembangan politik selanjutnya, Badan Pekerja KNP (BP-KNP) mengusulkan agar menteri bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat). Usul tentang pertanggungjawaban menteri itu dijelaskan oleh BP-KNP melalui Pengumuman No.5 tanggal 11 November 1945. Usul ini pun disetujui Presiden Soekarno, dan sebagai konsekuensinya pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensiil diganti dengan Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946). Sejak itu adagium "The King can do no wrong" berlaku dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.
Dalam "Maklumat Pemerintah" ini antara lain dinyatakan, "Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri."
Menpen Mr Amir Sjarifuddin pada 24 November 1945 memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perubahan pertanggungjawaban menteri itu. KNP yang melaksanakan sidang ke III di Jakarta 25-27 November 1945 juga menyetujui perubahan ini dengan membuat rumusan, "Membenarkan kebidjaksanaan Presiden perihal mendudukkan Perdana Menteri dan Menteri-menteri jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat sebagai suatu langkah jang tidak dilarang oleh Undang2 Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang."
Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden tidak disebut dalam Tap MPR No XX/MPRS /1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden merupakan pengumuman dari presiden untuk melaksanakan UUD, melaksanakan Tap MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah. Apakah perlu diberi "baju hukum" seperti terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hukum Tata Negara yang seharusnya menjawab. (M Sjafe'i Hassanbasari)
Langganan:
Postingan (Atom)