Kamis, 21 Maret 2013

isi maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945

Dekrit Presiden yang paling terkenal di Indonesia adalah Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, diucapkan pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi tiga hal.
  • Pertama, pembubaran Konstituante.
  • Kedua, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950).
o        Ketiga, pembentukan MPR Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan DPA Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
   
   Atas nasihat/saran Ketua Mahkamah Agung (MA) Wirjono Prodjodikoro SH, dekrit tersebut diberi "baju hukum" berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959 berjudul "Dekrit Presiden /Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945", dimuat dalam LN No 75/1959. Isi Keppres persis sama dengan bunyi dekrit.

   
   Proses lahirnya Dekrit Presiden ini diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan menteri agama lima kali berturut-turut pada lima
kabinet: 6 Maret 1962 - 25 Juli 1966, almarhum). Dalam bukunya, Berangkat dari Pesantren itu ia bercerita. Suatu malam awal bulan Juli 1959 ia ditelepon oleh Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid agar datang ke kediamannya di Jalan Djokdja (sekarang Jalan Mangunsarkoro) No 51. Sebagai Sekjen PBNU ia diminta menemani Idham Chalid yang akan kedatangan tamu sangat penting. Selepas pukul 02.00 dini hari tibalah KSAD, Jenderal A H Nasution, dan Komandan Corps Polisi Militer (CPM) Letkol (CPM) R Rusli.
   
   Kedatangan KSAD dan Komandan CPM itu khusus minta saran NU sehubungan dengan keberangkatan mereka ke
Tokyo (Jepang) menghadap Presiden Soekarno yang sedang berobat. Misi yang mereka emban adalah mengusulkan kepada Presiden agar UUD 1945 diberlakukan melalui Dekrit Presiden. Mereka juga minta masukan tentang materi apa yang perlu dimasukkan dalam dekrit. "Isinya terserah pemerintah tetapi hendaknya memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante," kata Pak Idham Chalid.

   
   Jenderal A H Nasution bertanya, "Apa konkretnya tuntutan golongan Islam itu?" Pertanyaan ini dijawab Saifuddin Zuhri, "Agar Piagam Djakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945." "Bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan dekrit?" tanya Nasution. "Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan bangsa," jawab Pak Idham Chalid.
   
   Pengumuman DPR dalam sidang tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyetujui Dekrit Presiden. Jenderal A H Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, keputusan DPR itu sesuai dengan hasil rembugan pimpinan AD dengan pimpinan empat partai besar sebelum Dekrit Presiden.
   
   Salah satu tindakan Presiden Soekarno sebelum dekrit adalah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 29 Juni 1959, yang berisi pengambilan kembali kekuasaan pemerintah oleh Presiden dari tangan kabinet (
14 November 1945
, pembentukan Kabinet Sjahrir I).
   
   Mengacu pada buku Saifuddin Zuhri, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebetulnya bukanlah yang pertama diberlakukan di Republik
Indonesia
. Hampir 13 tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari 200 orang (sesuai Peraturan Pemerintah No 2/1946 - Red) menjadi 514 orang. Kebijakan pemerintah dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947) ini terkait dengan ratifikasi Perundingan Linggarjati.
   
   Menurut Saifuddin Zuhri, kelompok yang pro menamakan diri "Sayap Kiri", terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didukung pula oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Kelompok yang anti menamakan diri "Benteng Republik" terdiri dari Masjumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia
(Bung Tomo). Di dalam Masjumi dan PNI ada perpecahan, ada yang di "Sayap Kiri" ada yang di "Benteng Republik".
   
   Versi lain terdapat dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia (disusun oleh Sekretariat DPR-GR, 1970). Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Desember 1946 adalah dikeluarkannya Maklumat Presiden tentang ditetapkannya Peraturan Presiden No 6/1946 tentang Penyempurnaan Komite Nasional Pusat (KNP, penamaan lain untuk KNIP). Maklumat Presiden itu berisi pengangkatan anggota tambahan KNP sebanyak 256 orang, sehingga jumlah anggota KNP menjadi 407 orang. Jadi bukan dekrit. Maklumat Presiden ini diumumkan dalam penerbitan resmi pemerintah, Berita Republik Indonesia
.
   
   Penambahan jumlah anggota KNP yang menurut pendirian pemerintah merupakan hak prerogatif presiden ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, Badan Pekerja KNP maupun KNP. Kelompok-kelompok yang menentang Peraturan Presiden No 6/1946 menyangkal tentang adanya hak prerogatif presiden. Mereka yang duduk di Badan Pekerja KNP menyusun Usul Inisiatif RUU Pembatalan Peraturan Presiden.
   
   Menurut Saifuddin Zuhri, dalam Sidang ke V KNIP di Malang (25 Februari - 6 Maret 1947) terjadi perdebatan sengit antara kekuatan kelompok yang pro dan anti-Linggarjati yang juga menolak dekrit. Terjadilah dead lock atau jalan buntu.
   Wakil Presiden Moh Hatta kemudian mengeluarkan ultimatum: "Pilih Presiden dan Wakil Presiden atau menolak dekrit.” Artinya, kalau dekrit ditolak maka Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta akan meletakkan jabatan.
   Dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat, ultimatum Wakil Presiden itu ditulis, "Lebih baik oleh KNP dicari Presiden dan Wakil Presiden lain, kalau Peraturan Presiden No 6/1946 tidak disetujui." Akhirnya dead lock pun terurai, dan Perundingan Linggarjati berhasil diratifikasi.
   
Cerita tentang maklumat

   
   
Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45 berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Kedudukan Komite Nasional yang untuk sementara bertugas membantu Presiden-berarti melaksanakan fungsi eksekutif- ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sementara golongan masyarakat, mencuat pada Sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta.
   
   Dalam sidang ini Sutan Sjahrir dan kawan-kawan. mengajukan usul kepada pemerintah mengenai perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45:
1). Sebelum terbentuk MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2) Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara dan bertanggung jawab kepada KNP.
   
   Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir sebagai wakil pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal 16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan improvisasi. Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif.
   
   Dengan perubahan ini KNP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45, sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara (tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).
   
   Sebagai tidak lanjut dari diktum kedua Maklumat Wakil Presiden No. X itu, Sidang KNP tanggal 17 Oktober 1945 membentuk Badan Pekerja beranggotakan 15 orang yang melakukan tugas sehari-hari KNP. Salah satu tindakan BP-KNP melaksanakan tugas KNP sesuai rumusan "ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara", adalah usulnya kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negari. Usul diterima pemerintah dan dikeluarkanlah "Maklumat Politik" 1 Novem-ber 1945.
   
   Badan Pekerja KNP juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Maka pemerintah pun mengeluarkan maklumat tentang hal itu dengan ketentuan partai-partai politik itu harus turut memperhebat perjuangan Republik
Indonesia.
   Bunyi maklumat yang dinamai Maklumat Pemerintah 3 November 1945:
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946.
Anjuran pemerintah ini ditanggapi antusias oleh kaum politisi dengan mendirikan partai.
   
   Perkembangan politik selanjutnya, Badan Pekerja KNP (BP-KNP) mengusulkan agar menteri bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat). Usul tentang pertanggungjawaban menteri itu dijelaskan oleh BP-KNP melalui Pengumuman No.5 tanggal
11 November 1945. Usul ini pun disetujui Presiden Soekarno, dan sebagai konsekuensinya pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensiil diganti dengan Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946). Sejak itu adagium "The King can do no wrong" berlaku dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia
.
   
   Dalam "Maklumat Pemerintah" ini antara lain dinyatakan, "Pemerintah Republik
Indonesia
setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri."
   
   Menpen Mr Amir Sjarifuddin pada 24 November 1945 memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perubahan pertanggungjawaban menteri itu. KNP yang melaksanakan sidang ke III di Jakarta 25-27 November 1945 juga menyetujui perubahan ini dengan membuat rumusan, "Membenarkan kebidjaksanaan Presiden perihal mendudukkan Perdana Menteri dan Menteri-menteri jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat sebagai suatu langkah jang tidak dilarang oleh Undang2 Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang."
   
   Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden tidak disebut dalam Tap MPR No XX/MPRS /1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden merupakan pengumuman dari presiden untuk melaksanakan UUD, melaksanakan Tap MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah. Apakah perlu diberi "baju hukum" seperti terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hukum Tata Negara yang seharusnya menjawab. (M Sjafe'i Hassanbasari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar