Latar Belakang
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan
Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966 hingga tahun 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski dibarengi dengan praktek korupsi yang
merajalela di negara ini. Hal ini terlihat dari peningkatan pendapatan
perkapita rata-rata 4,3% per tahun pada tahun 1965-1988. Dari tahun
1988, perekonomian tumbuh hampir 7% dalam setahun. Keberhasilan program
keluarga berencana dan langkah-langkah untuk meningkatkan produksi beras
secara dramatis menurunkan maltnutrisi (kekurangan gizi) dan kematian
bayi. Prestasi terbaik Soeharto adalah penurunan angka kemiskinan.
Sejumlah ekonom memperkirakan, lebih dari 70% masyarakat Indonesia hidup
dalam kemiskinan pada tahun 1970. Pada tahun 1990, angka tersebut
menurun menjadi sekitar 15%. Di pertengahan tahun 1980-an, Soeharto
dijuluki sebagai bapak pembangunan (Andersen, Ben.dkk, 1998 :71).
Pada
pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda Asia yang menyebabkan
kondisi ekonomi negara-negara Asia termasuk Indonesia sangat
memprihatinkan. Adapun krisis ini disebabkan karena keterikatan sistem
ekonomi Indonesia atau global dimana IMF, Bank Dunia, dan lembaga
keuangan lain menjadi salah satu sumber keuangan Indonesia dalam
pembiayaan pembangunan nasional. Krisis ekonomi yang ditandai dengan
jatuhnya nilai mata uang rupiah bersamaan dengan melambungnya nilai mata
uang dollar serta diikuti dengan melambungnya harga-harga kebutuhan
sembako, harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin
jatuh.
Ada dua pendapat yang menyatakan terjadinya krisis ekonomi di
Asia, khususnya di Indonesia adalah: Pertama, pendapat ini menekankan
bahwa krisis ini tidak dipengaruhi oleh inkonsistensi kebijakan
pemerintah atau faktor-faktor internal suatu negara, tetapi lebih
disebabkan oleh para pelaku di pasar modal. Seperti yang dikemukakan
oleh Obstfeld (1996) dan Griffith-Jones (1998), serangan spekulator
tidak didorong oleh lemahnya fundamental ekonomi tetapi lebih disebabkan
oleh ekspektasi memburuknya kondisi makroekonomi suatu negara, yang
ironisnya merupakan dampak dari perilaku para spekulan tersebut,
sehingga para spekulan dapat melakukan aksi profit taking yang
sebesar-besarnya sebelum krisis dan pasca krisis. Kedua, pendapat ini
dikemukakan oleh ekonom terkenal yaitu Krugman (1998) yang menyatakan
bahwa krisis ini adalah ‘hukuman’ bagi ‘dosa’ yang dilakukan
negara-negara Asia pada umumnya. Pihak swasta meyakini pemerintah akan
membantu dan memberikan jaminan sepenuhnya terhadap kewajiban luar
negeri apabila mereka terlibat kesulitan (Subandoro, Ali Winoto dalam
Selo Soemardjan, 1999 : 78).
Kontradiksi internal yang demikian
menciptakan keretakan pada dinding sistem politik Orde Baru. Kontradiksi
ini juga memberi keterbukaan politik bagi kelompok-kelompok yang
pro-reformasi, khususnya kaum intelektual, aktivis sosial, politik, dan
mahasiswa yang berjuang untuk demokrasi yang lebih baik sejak awal Orde
Baru. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa
yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Presiden
Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998.
Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan
tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli
masyarakatpun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda
nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi
mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Gedung wakil rakyat, yaitu
Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di daerah, menjadi tujuan utama
mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang
berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk
menurunkan Soeharto. Organisasi mahasiswa yang mencuat pada saat itu
antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan
gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya Presiden
tercapai, tapi perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi
Semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan
aparat militer bersenjata (Hikam, Muhammad. 1999: 85).
Era reformasi
di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat
presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan
Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai wilayah
Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi
Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei
1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh
Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri,
Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada
tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon
maaf kepada seluruh rakyat (Ricklefs, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru?
2. Bagaimana keadaan Bangsa Indonesia pada era reformasi?
Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang kami harapkan dapat tercapai adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru.
2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan Bangsa Indonesia pada era reformasi.
2.1 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Runtuhnya Rezim Orde Baru
Runtuhnya
pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan
tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak
tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan
perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat
dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha
mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus
bergulir melalui agenda reformasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto antara lain sebagai berikut :
1. Krisis Ekonomi
Krisis
ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai di Thailand menghantam
Indonesia. Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/US$ namun,
nilai ini kembali merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus,
nilai mata uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa
ia tidak bisa membendung rupiah terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai
tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US$. Dari sini, rupiah semakin terpuruk.
Pada bulan Januari 1998, rupiah tengelam hingga level sekitar Rp
17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur dan
hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas
menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka
(Ricklefs, 2005: 650). Akibat krisis ini organisasi perbankan kita
menjadi berantakan yang sampai sekarang belum dapat di konsolidasi
kembali. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika tetap di dalam tingkat
yang amat rendah, sehingga harga-harga keperluan umum, terutama sembako,
dalam hitungan rupiah tetap tinggi.
Krisis yang melanda Indonesia
juga disebabkan karena praktek KKN. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi,
Nepotisme) adalah istilah yang paling populer yang disuarakan oleh kaum
reformis untuk segera diberantas. Kolusi diantara penguasa pada masa
ORBA dengan para pengusaha hanya menguntungkan kedua belah pihak.
Sedangkan rakyat hanya menerima akibat buruk dari praktek tersebut.
Demikian juga, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah
menguras sumber ekonomi negara sehingga uang yang seharusnya digunakan
untuk kemakmuran rakyat tidak sampai kepada sasarannya. Adapun nepotisme
adalah praktek penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga atau
golongan untuk memperoleh jabatan serta kesempatan-kesempatan dalam
dunia usaha. Penderitaan rakyat akibat krisis ekonomi dibaca dengan baik
oleh kelompok intelektual terutama mahasiswa.
Dampak yang
ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah pada ketersediaan cadangan
devisa. Setelah mengalami beberapa kegagalan untuk melakukan stabilisasi
nilai tukar, maka cadangan devisa negara merosot dari sekitar 20 milyar
dollar AS pada pertengahan 1997 menjadi sekitar 14 milyar pada
pertengahan 1998. Hal ini juga merupakan dampak dari memburuknya neraca
modal Indonesia terhadap penurunan arus modal masuk secara drastis
maupun melonjaknya arus modal keluar. Runtuhnya perbankan nasional juga
mendorong krisis kepercayaan yang akhirnya berdampak pada masalah
likuiditas perbankan yang sangat serius. Bank Indonesia terpaksa
melakukan langkah penyelamatan melalui penyediaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) yang melonjak dari sekitar 7 trilyun rupiah pada
September 1997 menjadi 140 trilyun rupiah pada bulan Juli 1998. Pasar
modal juga terkena imbas krisis. Diperkirakan nilai dari aset finansial
menurunkan sekitar 70%. Harga saham dari perusahaan publik, yang
seharusnya cukup aman mengingat dukungan penuh dari pemerintah, turun
sekitar 66%.
Secara keseluruhan perekonomian juga mengalami
perlambatan pertumbuhan yang sangat berarti. Pada triwulan pertama dan
kedua tahun 1997 Indonesia masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi sekitar 8,5% dan 6,8%. Namun pada triwulan ketiga dan
keempat, perumbuhan ekonomi Indonesia menurun menjadi 2,5% dan 1,4%.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 adalah 4,6%
yang merupakan rekor paling rendah selama lima tahun terakhir. Adanya
ketidakseimbangan internal dalam perekonomian menyebabkan tekanan yang
cukup berat terhadap inflasi. Tingginya inflasi secara signifikan
disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar yang cepat tetapi lebih banyak
didorong oleh sisi penawaran, seperti imported inflation, terputusnya
sistem distribusi antara produsen dan konsumen untuk beberapa bahan
pokok, berhentinya produksi mengakibatkan mahalnya bahan baku. Faktor
lain yang sangat penting dalam mendorong laju inflasi adalah faktor
ekspektasi masyarakat berkaitan dengan situasi politik dan sosial yang
bergejolak maupun permasalahan konsistensi kebijakan pemerintah
(Subandoro, Ali Winoto dalam Selo Soemardjan, 1999: 92).
2. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998
Untuk
dapat mencermati pergerakan mahasiswa dapat dibedakan menjadi empat
periode. Periodisasi ini dibuat dengan mendasarkan pada momen-momen
penting dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu : tanggal Sidang Umum
MPR 1-11 Maret 1998, Insiden berdarah Universitas Trisakti 12 Mei dan
mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Periode pertama adalah
periode sebelum 1 Maret 1998. Pada awal periode itu, isu yang
ditampilkan belumlah menyangkut substansi reformasi melainkan sebatas
pada kondisi aktual saat itu seperti: kelaparan di Irian Jaya, kebakaran
hutan di Kalimantan dan Sumatera, menuntut pemerintah untuk menurunkan
harga-harga barang, dan menindak penimbun sembilan bahan pokok
(sembako). Contonya adalah aksi 150 mahasiswa Institut Pertanian Bogor
(IPB) yang melakukan mimbar bebas di kampus Baranangsiang pada hari
Rabu, 3 Desember 1997 dengan poster-poster yang dipajang bertuliskan:
Berantas Korupsi dan Kolusi, Tindak Tegas Mega Koruptor di BI, Tindak
Tegas Pembakaran Hutan, Tindak Tegas Aborsi Sampai ke Akar-akarnya. Pada
hari Senin 12 Januari 1998 sebanyak 24 orang mahasiswa IPB Bogor
mendatangi balaikota Bogor dengan mempermasalahkan merebakknya
gambar-gambar porno yang terpasang disejumlah bioskop dan maraknya
praktik prostitusi di beberapa tempat di wilayah Bogor. Aksi-aksi demo
tersebut bersifat lokal sporadis dan belum memiliki dampak berantai
kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya, baik yang dari satu perguruan tinggi
ataupun ke perguruan tinggi lainnya. Di samping jumlah partisipan yang
cenderung terdiri atas sebagian kecil mahasiswa dari satu perguruan
tinggi, aksi-aksi ini belum memiliki sebuah kerangka dan agenda aksi
yang terjadwal.
Beberapa mahasiswa juga melakukan aksi mogok makan
seperti 2 orang mahasiswa Universitas Parahiyangan, 6 mahasiswa di UGM, 7
mahasiswa di Universitas Airlangga pada awal Maret. Aksi-aksi mahasiswa
yang mogok makan ditunjukkan dengan menutup mulut mereka dengan
masker/uang sebagai sindiran terhadap peserta SU MPR. Menjelang
berakhirnya SU MPR yang dimunculkan beberapa kampus seperti di UNAIR
adalah permintaan agar kebinet mendatang bersih, jujur, tulus, tidak
sektarian, mengacu kepada kepentingan rakyat, reformasi total, mengatasi
pengangguran dan korupsi. Periode kedua adalah 12 Maret 1998-12 Mei
1998. setelah sempat reda selama hampir satu minggu, mahasiswa kembali
melakukan demonstrasi. Isi-isu yang dimunculkan pada periode ini
berkenaan dengan kredibelnya kabinet Pembangunan VII karena dinilai
sarat dengan nepotisme dan koncoisme. Periode ini juga ditandai dengan
kejenuhan mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus. Keinginan
mahasiswa untuk berdemonstrasi di luar kampus sudah tentu memicu
bentrokan dengan aparat keamanan. Salah satu demonstrasi mahasiswa
terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara
(USU) Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik
sejak 29 April hingga 7 Mei 1998. Aksi ini sempat disebut sebagai aksi
yang paling beringas yang melibatkan aksi saling melempar batu antara
mahasiswa dan aparat, penembakan gas air mata, pembakaran 2 motor aparat
keamanan dan lain sebagainya. Dalam periode ini isu-isu lain yang
muncul adalah mengenai dialog yang diprakarsai oleh ABRI dan peristiwa
penculikan para aktivis. Sebagaian besar mahasiswa dari perguruan tinggi
yang telah mapan seperti UGM, UI, IKIP Bandung, IAIN, dan Unpad tidak
hadir dalam dialog tersebut. Hal ini disebabkan karena :
ABRI selama
ini adalah alat dari kekuasaan ORBA sementara sebagaian besar mahasiswa
Indonesia telah menolak dan menganggap bahwa ORBA telah kehilangan
kredibilitasnya untuk memimpin sebuah negara. Jika mereka melakukan
dialog berarti mereka masih mengakui adanya ORBA.
ABRI adalah
instumen negara dimana selama ini selalu tunduk dan patuh kepada
Presiden Soeharto selaku panglima tertinggi ABRI. Mahasiswa berkeyakinan
bahwa ABRI tidak akan dapat menindaklanjuti keinginan masyarakat yang
disuarakan oleh mahasiswa jika hasil dari dialog tersebut akan
menyinggung perasaan Soeharto. Menjelang akhir periode ini yaitu
mendekati insiden Trisakti 12 Mei 1998 mahasiswa melontarkan isu lebih
jauh lagi mengenai pembubaran kabinet karena dianggap tidak dapat
menyelesaikan Krisis Ekonomi serta menuntut dilakukanya Sidang Istimewa
MPR .
Periode ketiga, periode ini ditandai dengan terjadinya
peristiwa insiden Trisakti tanggal 12 Mei 1998, dimana ribuan mahasiswa
Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto
sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali
sejak awal Orde Baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi
Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari
Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi mereka
dihadang oleh aparat kepolisian yang mengharuskan mereka kembali ke
kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa
Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan
mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang
lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat
mengamuk dan melakukan pengerusakan di daerah Grogol dan terus menyebar
hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat
yang menembak mati mahasiswa.
Periode ini juga ditandai oleh gerakan
mahasiswa dengan menduduki Gedung DPR/MPR sejak tanggal 18 Mei sampai
dengan 22 Mei 1998. Dalam keadaan yang mulai terkendali setelah mencekam
selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan
terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari Senin
siang, ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR/MPR dan dihadang
oleh tentara yang bersenjata lengkap, bukan lagi aparat kepolisian.
Tuntutan mereka yang utama adalah pengusutan penembakan mahasiswa
Trisakti, penolakan terhadap penunjukan Soeharto sebagai Presiden
kembali, pembubaran DPR/MPR 1998, pembentukan pemerintahan baru, dan
memulihkan ekonomi secepatnya.
Kedatangan ribuan mahasiwa ke gedung
DPR/MPR saat itu begitu menegangkan dan nyaris terjadi insiden. Suatu
saat tentara yang berada di depan gedung atas tangga sempat menembakan
senjata mereka sehingga membuat panik para wartawan yang segera
menyingkir dari arena demonstrasi. Mahasiswa ternyata tidak panik dan
tidak terpancing untuk melarikan diri sehingga tentara tidak dapat
memukul mundur mahasiswa dari Gedung DPR/MPR. Akhirnya mahasiswa
melakukan pembicaraan dengan pihak keamanan selanjutnya membubarkan diri
pada sore hari dan pulang dengan menumpang bus umum.
Keesokan
harinya mahasiswa yang mendatangi gedung DPR/MPR semakin banyak dan
lebih dari itu mereka berhasil menginap dan menduduki gedung itu selama
beberapa hari. Keberhasilan meduduki gedung DPR/MPR mengundang semakin
banyaknya mahasiswa dari luar Jakarta untuk datang dan turut menginap di
gedung tersebut. Mereka mau menunjukkan kalau reformasi itu bukan hanya
milik Jakarta tapi milik semua orang Indonesia.
Periode keempat,
Soeharto akhirnya menyerah pada tuntutan rakyat yang menghendaki dia
tidak menjadi Presiden lagi, namun tampaknya tak semudah itu reformasi
dimenangkan oleh rakyat Indonesia karena ia meninggalkan kursi
kepresidenan dengan menyerahkan secara sepihak tampuk kedaulatan rakyat
begitu saja kepada Habibie. Ini mengundang perdebatan hukum dan
penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa
menyatakan bahwa Habibie bukan Presiden Indonesia. Mereka tetap bertahan
di gedung DPR/MPR sampai akhirnya diserbu oleh tentara dan semua
mahasiswa digusur dan diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling
banyak yang menampung mahasiswa pada saat evakuasi tersebut adalah
kampus Atmajaya Jakarta yang terletak di Semanggi.
Pada bulan
November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda
pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena
mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk
menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari
orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang
Istimewa 1998 dan juga menentang Dwifungsi ABRI/TNI karena Dwifungsi
inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana
mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang
sudah berlalu, jadi boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa
setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian
sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir
seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang
Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun
yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari
pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat
yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa
perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika
perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada
tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa, masyarakat bergerak
menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan,
tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan
sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil
yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam
harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus,
terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal
dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak
mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi
dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan
kampus Atmajaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak
malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak
guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa
bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal
Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat
dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar
jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa
membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan
namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan
saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal
seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban
meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus
Atmajaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang
terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama
lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi
Atmajaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin
menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atmajaya,
Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi
terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat
itu juga semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak
maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung
terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat
dahsyat peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15
orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali
ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang
bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan
tidak menganggap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun
mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan
mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai
hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar
mahasiswa kalau berani melawan tentara". Betapa menyakitkan perlakuan
mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak
akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena
kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan
mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan
memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing.
Krisis Politik yang Terjadi di Indonesia
Kekerasan
politik yang berdimensi rasial sesungguhnya bukanlah hal yang baru di
dalam sejarah politik di Tanah Air kita, baik sebelum maupun sesudah
proklamasi kemerdekaan. Kejadian-kejadian yang dilaporkan secara luas
akhir-akhir ini berkaitan dengan aksi kerusuhan sebelum, selama, dan
sesudah jatuhnya rezim Orde Baru sebenarnya telah dikhawatirkan oleh
banyak pihak akan muncul. Meskipun demikian, tak pernah dibayangkan
bahwa kekerasan politik yang berwarna rasial itu akan berlangsung
sedemikian mengerikan, khususnya terjadi pembunuhan serta perkosaan
terhadap warga etnis Tionghoa. Tak pelak lagi, kekerasan politik rasial
merupakan salah satu persoalan yang senantiasa menyatu pada kehidupan
politik selama ia tidak diselesaikan secara terbuka, proporsional, dan
rasional. ORBA yang dibentuk menyusul tumbangnya rezim Orde Lama dibawah
Soekarno, secara formal menyatakan ingin melakukan koreksi total
terhadap penyimpangan-penyimpangan konstitusional, termasuk dalam
masalah hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dalam
perkembangannya selama 32 tahun, ORBA ternyata masih melakukan
kesalahan-kesalahan yang sama dan bahkan dalam kaitan dengan masalah
rasial terjadi yang lebih besar.
Dalam kerangka kesenjangan itulah
dapat dipahami mengapa kekerasan politik yang berdimensi rasial yang
menjadi bersifat laten di bawah Orde Baru. Oleh kerena itulah negara
mengambil kebijakan pengkaplingan politik terhadap kelompok-kelompok
masyarakat baik pada tataran simbolik maupun pragmatik, sebagai alat
kontrol selain korporatisasi pada tataran kelembagaan. Pengkaplingan
itulah yang kemudian menghasilkan wacana-wacana, kebijakan-kebijakan,
dan praktek-praktek politik diskriminatif terhadap warga negara sehingga
hak-hak asasi mereka terabaikan. Selain itu sebagain besar masyarakat
tidak percaya pada pemerintahan Soeharto yang di identikan dengan
tindakan KKN. Kepercayaan masyarakat pada ABRI sebagai pengawal keamanan
dan dalam Dwifungsinya sebagai stabilisator dan dinamosator pembangunan
menguap setelah terbuka kasalahan-kesalahan dan kegagalan dalam
menjalankan fungsinya. Dalam keadaan pemerintah dan ABRI kehilangan
sebagian besar kepercayaan rakyat timbul keberanian rakyat di berbagai
daerah untuk menggugat Pemerintah Pusat agar memberikan otonomi yang
lebih luas kepada daerah dengan pembagian yang lebih banyak dari
pendapatan asal daerah yang dalam masa pra-reformasi sebagian besar atau
malahan seluruhnya diambil oleh pemerintahan pusat. Tuntutan otonomi
itu malahan ada yang sampai pada tuntutan status bukan saja sebagai
daerah yang berotonomi luas, tetapi sebagai negara bagian dalam struktur
negara federal.
Manakala struktur politik mulai merapuh atau
mengalami krisis, juga deprivasi dalam masyarakat telah memuncak,
terjadilah letupan-letupan sosial yang berdampak politik dan membawa
keluar segala keburukan serta kebobrokan yang disimpannya. Salah satu
manifestasinya adalah kerusuhan serta kekerasan sosial berdimensi rasial
dan etnis sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada masa pra-pemilu
1997 yang kemudian disusul kejadian-kejadian sebelum jatuhnya Orde Baru
pada bulan Mei 1998.
Faktor Sosial
1. Meningkatnya Angka Kemiskinan.
Kenaikan angka penduduk miskin yang melonjak dengan pesat disebabkan oleh beberapa hal :
Menurunnya
pendapatan riil penduduk diperkirakan untuk periode 1997-1998 terjadi
penurunan pendapatan riil rata-rata sebesar 10-14% dalam nilai konstan.
Naiknya
jumlah pengangguran, terutana di kota-kota besar menyebabkan munculnya
kelompok-kelompok miskin dengan perkiraan sekitar 15 juta orang pada
tahun 1998.
Kenaikan inflasi, terutama untuk kelompok pangan yang
jauh lebih tinggi dari tingkat inflasinya sendiri. Diperkirakan untuk
harga beras telah meningkat hampir 200%. Hal ini menyebabkan turunnya
daya beli masyarakat desa maupun kota dan mendorong mereka dalam
kelompok hidup miskin.
2. Kelompok Rawan Pangan.
Melihat lebih
dalam lagi ke dalam distribusi kemiskinan yang digolongkan sebagai
keluaraga pra sejahtra dan sejahtra meningkat menjadi hampir 17,5 juta.
Kelompok masyarakat rawan pangan yang naik secara drastis ini disebabkan
oleh kombinasi antara krisis ekonomi yang menurunkan daya beli dan
faktor alam yang tidak menguntungkan. Hasil estimasi secara konservatif
yang dilakukan oleh World Food Program yang dilakukan di 35 wilayah DATI
II di 15 provinsi menunjukan bahwa 7,5 juta orang dari sekitar 19,5
juta populasi di wilayah tersebut akan mengalami masalah rawan pangan.
Kemiskinan absolut sangat erat kaitanya dengan maslah rawan pangan dan
kekurangan gizi. Masalah rawan pangan sebagain besar menimpa wanita dan
anak-anak.
3. Meledaknya Angka Pengangguran
Tingkat pengangguran
diperkirakan mencapai 15 juta orang atau sekitar 16,5% dari angkatan
kerja pada pertengahan 1998. Angka ini jelas lebih rendah dari angka
sebelumnya. Hal ini diperburuk lagi mengingat masalah sebenarnya
terletak pada semi pengangguran yang jauh lebih besar dari angka
pengangguran dan merupakan indikasi kearah kelompok penduduk miskin. Hal
ini terutama terjadi di perkotaan, dimana sebagaian besar pengangguran
biasanya tetap melakukan pekerjaan tetapi dengan beban kerja yang sangat
ringan dan upah yang minim. Pada tahun 1996 diperkirakan sekitar 37%
dari pekerja sebenarnya berada dalam kondisi semi pengangguran dan angka
ini diperkirakan lebih besar lagi pada situasi krisis seperti ini.
4. Menurunnya Murid Sekolah
Konsekuensi
dari menurunnya pendapatan riil adalah menurunnya tingkat pendaftaran
sekolah. Hal ini terutama desebabkan oleh tekanan kepada anak untuk
membantu mencari nafkah terutama bagi keluarga miskin. Pada tahun
1998/1999 diperkirakan menjadi kenaikan murid putus sekolah dari sekitar
2,6% menjadi 5,7% untuk murid SD atau kenaikan sebesar 119,2%.
Sedangkan untuk murid SMP naik 5,1% menjadi 13,3% atau kenaikan sebesar
125%. Secara absolut diperkirakan sekitar 17,5 juta murid usia sekolah
akan putus sekolah untuk mencari penghasilan serta 400 ribu murid
sekolah tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Bahkan
jika dilakukan penghapusan uang sekolah, kenaikan murid usia sekolah
diperkirakan akan tidak meningkat drastis karena semakin tingginya
biaya-biaya kesempatan (opportunity cost) di lapangan kerja.
5. Mutu Kesehatan
Di
bidang kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah telah menyebabkan
kenaikan drastis harga obat-obatan, vaksin, kontrasepsi. Survei kecil
yang dilakukan di Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan kenaikan harga obat
rata-rata hampir tiga kali lipat. Sedemikian parahnya masalah
kelangkaan obat sehingga beberapa pusat kesehatan tutup. Lebih parah
lagi, menurunnya tingkat pendapatan riil menyebabkan daya beli kelompok
penduduk miskin untuk mendapatkan fasilitas kesehatan berkurang. Kondisi
yang sama terjadi pada golongan wanita, terutama wanita hamil yang akan
mempertinggi resiko kematian bayi akibat buruknya sarana kesehatan.
Berita-berita di surat kabar menyatakan bahwa bertambah banyak jumlah
pasien yang memilih keluar dari rumah sakit karena kurang dan mahalnya
obat-obatan.
2.2 Keadaan Bangsa Indonesia Pada Era Reformasi
Ketika
Soeharto turun dari kursi kepresidenannya pada tanggal 21 Mei 1998, tak
seorangpun yang mengira bahwa dia akan mengakhiri masa jabatannya
dengan begitu cepat dan tragis. Sebagai salah seorang penguasa terlama
di dunia, dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa
jabatan yang keenam pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan
berada di bawah kontrolnya. Tetapi, dua bulan sesudah Soeharto mengambil
sumpah, rezim ORBA runtuh. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR
pada tanggal 19 Mei 1998, Presiden yang sudah berumur 75 tahun ini
menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan
seorang diri. Bahkan konco terdekatnya, yakni Harmoko memutuskan untuk
memaksanya turun tahta. Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi
rakyat agar memberi kesempatan terakhir padanya untuk menyelamatkan
tahta gagal ketika pada malam tanggal 20 Mei 1998, 14 anggota kabinetnya
memberikan ultimatum apakah Soeharto yang turun dari tahta atau mereka
yang turun. Pada malam yang sama, pimpinan militer juga menemui dan
meminta Soeharto untuk turun. Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali
memenuhi permintaan itu. Akan tetapi, dengan suatu janji bahwa dia dan
keluarganya akan dihormati dan dilindungi.
Era reformasi di Indonesia
dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden
Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial
Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat
itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. B. J.
Habibie yang menjadi Wakil Presiden dan sebelumya menjabat sebagai
Mentri Riset dan Teknologi, menggantikannya sebagai Presiden baru.
Jatuhnya pilihan kepada B. J. Habibie merupakan suatu hal yang
kontroversial. Habibie sesungguhya mewarisi suatu pemerintahan yang
mengalami kerusakan total serta bersifat multidimensioal baik dalam segi
moniter, ekonomi, sosila, politik, dan juga mental (Amin Rais, 1998:
29). Proyek kebanggaan Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara
(IPTN) masalnya, sering menjadi sasaran kritik karena diduga telah
menyalahgunakan anggaran negara (Hikam, Muhamad, 1999: 71). Pemerinthan
Soeharto semakin disorot setelah tragedi Triaakti pada tanggal 12 Mei
1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan
mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang
besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya
pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan kemudian
mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat.
Masa
reformasi baru terlaksana ketika Indonesia setelah pemerintahan
Soeharto. Dimana B. J. Habibie sebagai presiden Indonesia yang ketiga,
memperkenalkan suatu reformasi yang menjanjikan suatu masyarakat yang
lebih demokratis, adil, dan terbuka. Kemudian beberapa langkah perubahan
diambil oleh Habibie, seperti liberalisme parpol, pemberian kebebasan
pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Ketika Habibie
menggantikan mentornya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei
1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya. Isu-isu itu adalah
pertama masa depan reformasi; kedua masa depan ABRI; ketiga masa depan
daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia; empat masa
depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; dan yang
kelima masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Tujuh belas
bulan kemudian, isu pertama menunjukkan perkembangan positif, isu kedua
mengarah kepada pengurangan peranan militer dalam bidang politik, isu
ketiga telah terselesaikan dalam konteks Timor-Timur dan tidak dalam
konteks daerah lain, isu keempat belum terselesaikan dan isu kelima
tetap tidak terpecahkan. Dalam perkembangan masa pemerintahan B. J.
Habibie, dimana keengganan untuk mengadili Soeharto, kelambatan
investigasi kasus menghilangnya aktivis-aktivis politik, kasus Trisakti,
kerusuhan Mei 1998, dan kegagalan Habibie mencapai pertumbuhan ekonomi
yang pesat, harapan yang sebetulnya tidak realistis, menimbulkan
tuntutan diadakannya sidang istimewa MPR untuk memberhentikan Habibie
dan untuk memilih kepemimpinan nasional yang baru.
Setelah jatuhnya
rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, banyak mengalami
perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam
bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya era reformasi yang mengalami perubahan-perubahan seperti
berikut ini:
Dalam Bidang Ekonomi
Dalam perdebatan-perdebatan
mengenai ekonomi, sering diperdebatkan apakah ekonomi menjadi prasyarat
keamanan ataukah sebaliknya keamanan menjadi prasyarat hidupnya ekonomi.
Apabila ekonomi rusak dan keluarga-keluarga dalam masyarakat tidak
mungkin memenuhi kebutuhanya, pelanggaran-pelanggaran hukum amat sukar
dicegah. Tetapi, kalau keadaan umum tidak aman kegiatan-kegiatan ekonomi
pasti terganggu, bahkan mungkin buat sementara terhenti. Keamanan umum
di Indonesia dalam satu tahun sesudah Soeharto mengundurkan diri sebagai
Presiden mengalami banyak gangguan, sedangkan ekonomi umum belum mampu
bangkit kembali dari pukulan berat oleh krisis moneter. Nilai rupiah
terhadap dollar AS dalam beberapa bulan sesudah pergantian tahun 1998
sampai 1999 relatif stabil tetapi pada tingkat yang tinggi antara Rp.
7.000 dan Rp. 8.000 sehingga belum dapat membantu ibi-ibu rumah tangga
dari kelas rendah yang penghasilan kerjanya dalam rupiah belum cukup
untuk mengejar harga sembako yang tetap tinggi. Karena keadaan ekonomi
yang demikian, jumlah anak jalanan dan preman tidak berkurang, tetapi
malah bertambah. Para petani pangan juga banyak yang mengeluh karena
tingginya harga pupuk dan karena saingan harga beras dari luar negeri
yang dapat masuk ke Indonesia dengan bebas pajak atau dengan pajak yang
rendah.
Dalam Bidang Politik
Suasana politik sesudah berhentinya
Presiden Soeharto penuh dengan kejadian-kejadian yang menimbulkan
frustasi dikalangan Pemerintah, ABRI, partai-partai politik dan
masyarakat umum. Di antara kejadian-kejadian itu dapat disebut beberapa
yang membawakan disintegrasi politik berkepanjangan, misalnya naiknya
Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto, pembentukan Kabinet
Reformasi Pembangunan, timbulnya partai-partai politik baru, tawaran
kepada rakyat Timor-Timur untuk mendapatkan otonomi luas atau
kemerdekaan, gerakan di Irian Jaya dan Aceh untuk mendirikan negara
merdeka baru lepas dari Republik Indonesia; Rencana Pemilu 1999 dan
pencalonan Preseden. Disamping itu, hampir setiap hari orang Jakarta dan
kota besar lainnya dapat membaca di surat kabar, majalah atau tabloid
tentang politik pemerintahan Soeharto yang merugikan negara dan rakyat
karena bertentangan dengan sistem demokrasi. Yang amat menykitkan hati
masyarakat umum adalah kekayaan senilai berpuluh milyar dollar Amerika
yang menurut berita-berita pers dikumpulkan oleh Soeharto dan oleh
anak-anaknya di bawah lindunngan Soeharto sebagai kepala negara sampai
tidak akan habis dalam tujuh turunan. Padahal, rakyat dilanda krisis
moneter dan krisis ekonomi yang menaikkan jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan dari 25.000.000 menjadi 100.000.000 dalam waktu kurang dari
satu tahun 1997-1998. seruan ”Usut Kekayaan Soeharto” dan ”Adili
Soeharto” dimuat berkali-kali di dalam media cetak dan didengar dalam
demontrasi-demontrasi para mahasiswa. Suara rakyat itu menggema di
Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 November 1998 sehingga diterbitkan
suatu ketetapan MPR yang memerintahkan kepada Presiden untuk mengusut
tuduhan-tuduhan itu sampai tuntas. Namun, sampai lebih dari setengah
tahun kemudian tidak tampak gerakan yang serius dari pemerintah atau
Jaksa Agung yang serius untuk memenuhi ketetapan itu.
Dalam Bidang Sosial
Sejak
Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden pada tanggal
21 Mei 1998 sampai satu tahun kemudian keadaan sosial di indonesia
selalu diganggu oleh berbagai peristiwa yang meresahkan masyarakat
banyak. Jumlah kemiskinan yang setahun lalu mencuat samapi 100 juta
belum menunjukkan gejala menurun. Jumlah penganggur sebagai korban PHK
tidak kurang dari tujuh juta, dengan kebanyakan di antara mereka
bermukim di kota-kota besar.
Banyaknya jumlah penduduk miskin dan
korban PHK, banyak keluarga terpaksa mengurangi makan sehari-hari atau
memilih maknan yang berkualitas gizi rendah, juga buat anak-anak di
bawah umur sepuluh tahun yang sedang sangat membutuhkan masukan gizi
yang cukup sebagai landasan kesehatan badan mereka. Dikhawatirkan, kalau
kekurangan gizi berlangsung lebih lama generasi anak-anak dikemudian
hari akan menjadi generasi anak-anak yang lemah. Kekurangan gizi yang
berkepanjangan tidak hanya memiliki pengaruh negatif terhadap
perkembangan tubuh anak, akan tetapi juga intelegensi atau daya pikir
mereka. Selain itu, gejala sosial yang menarik perhatian adalah di
bidang keamanan dan ketertiban umum. Tahun 1999, kepolisian RI secara
organisatoris dan operasional dipisahkan dari angkatan-angkatan
bersenjata. Istialah ABRI tidak lagi berlaku dan diganti dengan TNI yang
meliputi angkatan darat, laut dan udara. Di samping itu, kepolisian RI
berdiri sendiri meskipun secara administratif tetap di bawah pimpinan
Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Akibat krisis ekonomi yang tak
kunjung berakhir, kekerasan sosial, krisis politik yang berkepanjangan
dan keraguan yang luas tentang kejujuran dan keabsahan pemerintah telah
memudarkan harapan akan reformasi. Pada bulan Novenber 1999, Habibie
digantikan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi presiden ke-4.
Gus Dur, seperti biasa menampilkan intelegensia, kekocakan, keterbukaan,
dan komitmen terhadap pluralisme serta kebencian terhadap dogmatisme.
Namun, sikap-sikap positif ini juga diiringi dengan kecenderungan untuk
bertindak seenaknya, kegigihan untuk mempertahankan kekuasaan dengan
cara apapun, keterbatasan karena buta, masalah kesehatan secara umum,
kurangya pengalaman dalam masalah pemerintahan, dan kesulitan menemukan
orang-orang yang jujur dan kompeten untuk berada dalam pemerintahannya.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan
separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu,
banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR atau DPR.
Pada tanggal 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di gedung MPR
dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi.
Dibawah tekanan yang besar, akhirnya Gus Dur lalu mengumumkan pemindahan
kekuasaan kepada wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri. Oleh
karena itu, pada bulan Juli 2001 Gus Dur dipecat sebagai presiden oleh
MPR dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden Indonesia yang ke-5.
Akan tetapi, sementara itu masalah bangsa terus menghadang.
Pada
periode Juli 2001 sampai pada pemilihan presiden tahun 2004, presiden
Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Pemerintahannya harus
menghadapi tantangan-tantangan yang berat sekali, seperti dalam keadaan
ekonomi dan politik Indonesia yang nyata, siapa saja yang menjadi
presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Diantara
persoalan-persoalan yang belum diatasi dimasa pemerintahan Megawati
adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang lazim disebut KKN. Ekonomi
Indonesia mengalami kesulitan sejak 1997 dan pemerintahan Megawati belum
bisa memulihkannya seperti sebelum krisis itu. Namun demikian ada
kemajuan dalam beberapa hal. Meski tetap lambat, investasi sudah mulai
mengalir, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Akan tetapi,
pembangunan yang lebih pesat sangan dibutuhkan. Dengan pertumbuhan
jumlah penduduk yang berjaln terus, pembangunan diperlukan untuk
mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Sewaktu Indonesia menghadapi
banyak sekali tantangan seperti yang dibicarakan di atas, demokrasi
mengakar dengan cara yang mengesankan. Tahun 2004 adalah tahun
pemilihan, pemilihan umum pada bulan April untuk Dewan Perwakilan Rakyat
pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat provinsi dan pada
tingkat kota atau Kabupaten, dan instansi baru Dewan Perwakilan Daerah
di pusat. Dari sudut administrasipun pemilu bulan April 2004 merupakan
tantangan yang besar sekali. Pada masa ini terjadi beberapa
penyelewengan, kesulitan dan kesalahan terjadi. Akan tetapi pada
umumnya, pemilu dilaksanakan dengan tertib dan secara seharusnya.
Kesulitan yang dihadapi pada pemilu kali ini salah satu penyebabnya
adalah banyaknya parpol yang ikut dalam pemilu, seperti partai Golkar,
PDIP, PKB, PPP, Demokrat, PKS, PAN, PDS, dan lain-lain.
Pada
pemilihan presiden putaran pertama yang diselenggarkan pada bulan Juli
2004 ada lima pasangan calon presiden dan wakil presiden antara lain:
Wiranto dari Golkar dengan Salahudin Wahid dari NU, Megawati dari PDIP
dengan Hasyim Musadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo
Husodo dari Golkar, Susilo Bambang Yudhoyono dari partai Demokrat dengan
Jusuf Kalla dari Golkar dan NU, Hamzah Haz dari PPP dengan Agum Gumelar
dari TNI (Ainum Nanjib,1999: 93). Dalam putaran pertama ini pasangan
SBY-JK mendapat suara terbanyak kemudian diikuti oleh Megawati, Wiranto,
Amien Rais dan Hamzah Haz. Sedangkan pemilihan presiden putaran kedua
yang di selenggarakan pada bulan September 2004 pasangan yang terpilih
adalah pasangan Susilo Bambang Yodhoyono berhadapan dengan pasangan dari
Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada hasil akhir pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kala yang menang dengan meraih suara
sebesar 60,9% (Akbar Faizal,2005: 19).
Dengan dipilihnya SBY oleh
rakyat Indonesia secara langsung dan dengan dukungan sekuat itu, maka
pada tanggal 20 Oktober SBY dilantik sebagai presiden Indonesia ke-6
dengan amanat rakyat yang paling kuat sepanjang sejarah Indonesia
merdeka.
source : http://kavie-design.blogspot.com/2010/12/runtuhnya-orde-baru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar