Kamis, 21 Maret 2013

MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN

MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan pernyataan resmi kemerdekaan bangsa. Peristiwa ini terjadi tepat pukul 10.00, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno didampingi Drs. Moh. Hatta. Bersamaan pula dengan pengibaran bendera MERAH PUTIH yang dikibarkan oleh S.Suhud dan Latief Hendraningrat diiringi lagu INDONESIA RAYA dinyanyikan secara spontan. Dengan itu, Bangsa Indonesia telah menjadi Negara yang Merdeka dan Berdaulat.
Bangsa Indonesia menyatakan secara resmi kepada rakyat Indonesia dan Dunia Internasional, bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka, lepas dari
kekuasaan penjajah. Sejak saat itu Bangsa Indonesia mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan tanah airnya dalam segala bidang. Dalam hokum, Bangsa Indonesia akan membentuk hukumnya sendiri, lepas dari hokum penjajah.
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai 2 makna bagi Indonesia, yaitu mulai saat itu :
a. Berdiri Negara baru, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya selama beratus-ratus tahun secara berturut-turut Indonesia dalam kekuasaan penjajah Portugis, Belanda, dan Jepang.Baru sejak merdeka, Indonesia secara resmi memiliki Negara sendiri.
b. Tata hukum dan tata Negara baru, yaitu tata hukum dan Negara. Artinya sebelum proklamasi Indonesia menggunakan tata hukum dan Negara milik penjajah. Sejak proklamasi, Indonesia secara resmi memiliki tat hokum dan Negara sendiri.
Satu hari setelah proklamasi peserta sidang PPKI menerima dan mengesahkan dengan suara bulat :
a. Rumusan definitif Pembukaan UUD yang mengandung rumusan Pancasila yang otentik sebagai Dasar Negara.
b. Batang Tubuh UUD, yang dikenal UUD 1945.
c. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Soekarno dan Hatta.
d.Bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Makna Proklamasi kemerdekaan tetap saja peristiwa sejarah yang penting. Peristiwa itu merupakan titik tolak berdirinya NKRI dengan tata negara dan tata hukumnya sendiri.

USAHA PEMERINTAH RI DALAM MELENGKAPI ALAT PEMERINTAHAN DAN NEGARA

Sebagai Negara yang baru merdeka Indonesia belum memiliki pemimpin dan pemerintahan yang berdaulat, oleh karena itu diadakan sidang PPKI dalam upaya pembentukan pemerintahan, alat kelengkapan, dan keamanan negara Indonesia.
1.      Sidang tanggal 18 Agustus1945, menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a.      Mengesahkan dan menetapkan UUD RI yang dikenal dengan nama UUD 1945.
b.      Memilih dan menetapkan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden (secara aklamasi)
c.       Pembentukan Komite Nasional untuk membantu pekerjaan presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR.

2.      Sidang tanggal 19 Agustus 1945, menetapkan mengenai :
  1. Pembagian wilayah Indonesia
Menetapkan wilayah Indonesia menjadi 8 propinsi dengan 2 daerah istimewa beserta gubernurnya, yaitu :
a)     Jawa Barat          : Sutardjo Kartohadikusumo
b)     Jawa Tengah       : R. Panji Soeroso
c)      Jawa Timur         : R.A Soerjo
d)     Kalimantan          : Ir. Mohammad Noor
e)     Sulawesi               : Dr. Sam Ratulangi
f)       Maluku                 : Mr. J. Latuharhary
g)     Sunda Kecil          : Mr. I Gusti Ketut Pudja
h)     Sumatera             : Mr. Teuku Moh. Hasan
i)       Dua daerah istimewa yaitu Yogyakarta dan Surakarta
  1. Pembentukan Dpartemen dan Kementrian
Pembentukan 12 Departemen dan 4 kementrian negara untuk membantu presiden.
a)     Departemen Dalam Negeri       : Wiranata Kusumah
b)     Departemen Luar Negeri          : Ahmad Subardjo
c)      Departemen Kehakiman           : Dr. Soepomo
d)     Departemen Keuangan              : A.A Maramis
e)     Departemen Kemakmuran       : Ir. Surachman Tjokrodisuryo
f)       Departemen Pengajaran           : Ki Hajar Dewantara
g)     Departemen Penerangan          : Amir Syarifudin
h)     Departemen Sosial                     : Iwa Kusumasumantri
i)       Departemen Pertahanan           : Supriyadi
j)       Departemen Kesehatan             : Boentaran Martoatmodjo
k)     Departemen Perhubungan       : Abikusno Tjokrosujoso
l)       Departemen Pekerjaan Umum            : Abikusno Tjokrosujoso
m)  Menteri Negara                          : Wachid Hasyim
n)     Menteri Negara                          : R.M Sartono
o)     Menteri Negara                          : M. Amir
p)     Menteri Negara                          : R. Otto Iskandardinata

3.      Sidang tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk tiga badan yaitu :
  1. Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI)
Dibentuk komite nasional sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan yang didasarkan kedaulaan rakyat. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berkedudukan di Jakarta, sedangkan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) berkedudukan di ibukota propinsi. Tanggal 29 Agustus 1945, Presiden Sukarno melantik 135 anggota KNIP di Gedung Kesenian Jakarta dengan ketua Kasman Singodimejo.

  1. Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI)
Awalnya PNI dibentuk sebagai partai tunggal di Indonesia tetapi keputusan tersebut ditunda hingga tanggal 31 Agustus 1945. Tujuan PNI adalah mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur berdasarkan kedaulatan rakyat.

  1. Pembentukan Tentara Kebangsaan
Sehubungan dengan pembentukan Tentara Kebangsaan maka dibentuk Badan Keamanan Rakyat/ BKR (23 Agustus 1945) yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari badan penolong keluarga korban perang. Badan ini ditujukan untuk memelihara keselamatan rakyat. BKR dibentuk sebagai pengganti Badan Penolong Korban Perang (BPKP). BKR terdiri dari BKR pusat dan BKR daerah.
Akhirnya karena desakan para pemuda anggota BKR maka dibentuk tentara kebangsaan yang diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 25 Januari 1946 TKR berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dalam upaya untuk mendirikan tentara yang percaya pada kekuatan sendiri. Pada 3 Juni 1947, TRI berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tujuan untuk membentuk tentara kebangsaan yang benar-benar profesional siap untuk mengamankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Komite Nasional Indonesia Pusat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Komite Nasional Indonesia Pusat (sering disingkat dengan KNIP) dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950.[1] KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan
daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.[2]
KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.[1]

Daftar isi

Pimpinan dan anggota

Anggota KNIP terdiri dari 137 orang, dimana yang bertindak sebagai pimpinan adalah:[1][2]

Badan Pekerja

Berhubung dengan keadaan dalam negeri yang genting, pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh satu Badan Pekerja, yang keanggotaannya dipilih dikalangan anggota, dan bertanggung jawab kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) ini diketuai oleh Sutan Sjahrir dan beranggotakan 28 orang.[3][4]

Maklumat Wakil Presiden

Atas usulan KNIP, dalam sidangnya pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jakarta[3], diterbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (dibaca : eks) Tanggal 16 Oktober 1945, yang dalam diktumnya berbunyi:[2]
Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.[2]

Sidang-sidang

KNIP telah mengadakan sidang-sidang di antaranya adalah:[1]

Referensi

Sumber

Lihat pula

Badan Keamanan Rakyat

Badan Keamanan Rakyat (disingkat BKR) adalah angkatan bersenjata pertama yang dibentuk setelah Indonesia merdeka. Pembentukan BKR dilakukan melalui sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.
Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Yang diangkat menjadi komandan BKR adalah Arudji Kartawinata . Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.

Landasan Hukum dan Sejarah Terbentuknya TNI

Awal mula terjadinya terbentuknya TNI tidak bisa dilepaskan dari konteks perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Seperti diketahui indonesia mengalami penjajahan selama lebih dari tiga setengah abad, yang kemudian diakhiri dengan perjuangan panjang rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan Penjajah.
Sebelum kemerdekaan, rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan dalam penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun, dalam kurun waktu tersebut dibentuklah PETA dan HEIHO oleh Jepang. Perjuangan kemerdekaan pada kurun waktu tersebut masih bersifat sporadis, walaupun dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia dan organisasi perlawanan dalam bentuk laskar-laskar perjuangan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, berdasarkan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus tahun 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdiri dari bekas prajurit Hindia Belanda dan Jepang, antara lain Heiho dan PETA serta berasal dari rakyat, yaitu barisan pemuda, Hisbullah, Sabillilah dan Pelopor. Dengan itu terintregasi pula laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar diberbagai daerah, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang keseluruhannya terhimpun dalam BKR.

Seiring dengan kebutuhan dan perkembangan organisasi dilakukan penyempurnaan organisasi BKR. Langkah penyempurnaan tersebut adalah penataan ulang untuk mendukung profesionalisme dan mengakomodasi potensi kekuatan perjuangan. BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober tahun 1945. TKR kemudian berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada tanggal 3 juni tahun 1947 TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Adanya keputusan PPKI dan Keputusan Presiden pada waktu itu maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya organisasi militer sebenarnya lahir dari keputusan otoritas sipil.
Perkembangannya, pada tanggal 21 Juni tahun 1962, TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada era reformasi, yaitu pada tahun 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian sebagai amanat dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dibuat Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 yang mengatur mengenai TNI.

Pengirim : Lenterak
Website : http://lenterakecil.com

isi maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945

Dekrit Presiden yang paling terkenal di Indonesia adalah Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, diucapkan pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi tiga hal.
  • Pertama, pembubaran Konstituante.
  • Kedua, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950).
o        Ketiga, pembentukan MPR Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan DPA Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
   
   Atas nasihat/saran Ketua Mahkamah Agung (MA) Wirjono Prodjodikoro SH, dekrit tersebut diberi "baju hukum" berupa Keputusan Presiden (Keppres) No 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959 berjudul "Dekrit Presiden /Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945", dimuat dalam LN No 75/1959. Isi Keppres persis sama dengan bunyi dekrit.

   
   Proses lahirnya Dekrit Presiden ini diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan menteri agama lima kali berturut-turut pada lima
kabinet: 6 Maret 1962 - 25 Juli 1966, almarhum). Dalam bukunya, Berangkat dari Pesantren itu ia bercerita. Suatu malam awal bulan Juli 1959 ia ditelepon oleh Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid agar datang ke kediamannya di Jalan Djokdja (sekarang Jalan Mangunsarkoro) No 51. Sebagai Sekjen PBNU ia diminta menemani Idham Chalid yang akan kedatangan tamu sangat penting. Selepas pukul 02.00 dini hari tibalah KSAD, Jenderal A H Nasution, dan Komandan Corps Polisi Militer (CPM) Letkol (CPM) R Rusli.
   
   Kedatangan KSAD dan Komandan CPM itu khusus minta saran NU sehubungan dengan keberangkatan mereka ke
Tokyo (Jepang) menghadap Presiden Soekarno yang sedang berobat. Misi yang mereka emban adalah mengusulkan kepada Presiden agar UUD 1945 diberlakukan melalui Dekrit Presiden. Mereka juga minta masukan tentang materi apa yang perlu dimasukkan dalam dekrit. "Isinya terserah pemerintah tetapi hendaknya memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante," kata Pak Idham Chalid.

   
   Jenderal A H Nasution bertanya, "Apa konkretnya tuntutan golongan Islam itu?" Pertanyaan ini dijawab Saifuddin Zuhri, "Agar Piagam Djakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945." "Bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan dekrit?" tanya Nasution. "Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan bangsa," jawab Pak Idham Chalid.
   
   Pengumuman DPR dalam sidang tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyetujui Dekrit Presiden. Jenderal A H Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, keputusan DPR itu sesuai dengan hasil rembugan pimpinan AD dengan pimpinan empat partai besar sebelum Dekrit Presiden.
   
   Salah satu tindakan Presiden Soekarno sebelum dekrit adalah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 29 Juni 1959, yang berisi pengambilan kembali kekuasaan pemerintah oleh Presiden dari tangan kabinet (
14 November 1945
, pembentukan Kabinet Sjahrir I).
   
   Mengacu pada buku Saifuddin Zuhri, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebetulnya bukanlah yang pertama diberlakukan di Republik
Indonesia
. Hampir 13 tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 29 Desember 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit untuk menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari 200 orang (sesuai Peraturan Pemerintah No 2/1946 - Red) menjadi 514 orang. Kebijakan pemerintah dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 26 Juni 1947) ini terkait dengan ratifikasi Perundingan Linggarjati.
   
   Menurut Saifuddin Zuhri, kelompok yang pro menamakan diri "Sayap Kiri", terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pesindo, Partai Buruh, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didukung pula oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Kelompok yang anti menamakan diri "Benteng Republik" terdiri dari Masjumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia
(Bung Tomo). Di dalam Masjumi dan PNI ada perpecahan, ada yang di "Sayap Kiri" ada yang di "Benteng Republik".
   
   Versi lain terdapat dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia (disusun oleh Sekretariat DPR-GR, 1970). Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Desember 1946 adalah dikeluarkannya Maklumat Presiden tentang ditetapkannya Peraturan Presiden No 6/1946 tentang Penyempurnaan Komite Nasional Pusat (KNP, penamaan lain untuk KNIP). Maklumat Presiden itu berisi pengangkatan anggota tambahan KNP sebanyak 256 orang, sehingga jumlah anggota KNP menjadi 407 orang. Jadi bukan dekrit. Maklumat Presiden ini diumumkan dalam penerbitan resmi pemerintah, Berita Republik Indonesia
.
   
   Penambahan jumlah anggota KNP yang menurut pendirian pemerintah merupakan hak prerogatif presiden ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, Badan Pekerja KNP maupun KNP. Kelompok-kelompok yang menentang Peraturan Presiden No 6/1946 menyangkal tentang adanya hak prerogatif presiden. Mereka yang duduk di Badan Pekerja KNP menyusun Usul Inisiatif RUU Pembatalan Peraturan Presiden.
   
   Menurut Saifuddin Zuhri, dalam Sidang ke V KNIP di Malang (25 Februari - 6 Maret 1947) terjadi perdebatan sengit antara kekuatan kelompok yang pro dan anti-Linggarjati yang juga menolak dekrit. Terjadilah dead lock atau jalan buntu.
   Wakil Presiden Moh Hatta kemudian mengeluarkan ultimatum: "Pilih Presiden dan Wakil Presiden atau menolak dekrit.” Artinya, kalau dekrit ditolak maka Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta akan meletakkan jabatan.
   Dalam buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat, ultimatum Wakil Presiden itu ditulis, "Lebih baik oleh KNP dicari Presiden dan Wakil Presiden lain, kalau Peraturan Presiden No 6/1946 tidak disetujui." Akhirnya dead lock pun terurai, dan Perundingan Linggarjati berhasil diratifikasi.
   
Cerita tentang maklumat

   
   
Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45 berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Kedudukan Komite Nasional yang untuk sementara bertugas membantu Presiden-berarti melaksanakan fungsi eksekutif- ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sementara golongan masyarakat, mencuat pada Sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta.
   
   Dalam sidang ini Sutan Sjahrir dan kawan-kawan. mengajukan usul kepada pemerintah mengenai perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45:
1). Sebelum terbentuk MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2) Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara dan bertanggung jawab kepada KNP.
   
   Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir sebagai wakil pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal 16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan improvisasi. Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif.
   
   Dengan perubahan ini KNP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45, sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara (tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).
   
   Sebagai tidak lanjut dari diktum kedua Maklumat Wakil Presiden No. X itu, Sidang KNP tanggal 17 Oktober 1945 membentuk Badan Pekerja beranggotakan 15 orang yang melakukan tugas sehari-hari KNP. Salah satu tindakan BP-KNP melaksanakan tugas KNP sesuai rumusan "ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara", adalah usulnya kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negari. Usul diterima pemerintah dan dikeluarkanlah "Maklumat Politik" 1 Novem-ber 1945.
   
   Badan Pekerja KNP juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Maka pemerintah pun mengeluarkan maklumat tentang hal itu dengan ketentuan partai-partai politik itu harus turut memperhebat perjuangan Republik
Indonesia.
   Bunyi maklumat yang dinamai Maklumat Pemerintah 3 November 1945:
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946.
Anjuran pemerintah ini ditanggapi antusias oleh kaum politisi dengan mendirikan partai.
   
   Perkembangan politik selanjutnya, Badan Pekerja KNP (BP-KNP) mengusulkan agar menteri bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat). Usul tentang pertanggungjawaban menteri itu dijelaskan oleh BP-KNP melalui Pengumuman No.5 tanggal
11 November 1945. Usul ini pun disetujui Presiden Soekarno, dan sebagai konsekuensinya pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensiil diganti dengan Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946). Sejak itu adagium "The King can do no wrong" berlaku dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia
.
   
   Dalam "Maklumat Pemerintah" ini antara lain dinyatakan, "Pemerintah Republik
Indonesia
setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri."
   
   Menpen Mr Amir Sjarifuddin pada 24 November 1945 memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perubahan pertanggungjawaban menteri itu. KNP yang melaksanakan sidang ke III di Jakarta 25-27 November 1945 juga menyetujui perubahan ini dengan membuat rumusan, "Membenarkan kebidjaksanaan Presiden perihal mendudukkan Perdana Menteri dan Menteri-menteri jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat sebagai suatu langkah jang tidak dilarang oleh Undang2 Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang."
   
   Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden tidak disebut dalam Tap MPR No XX/MPRS /1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden merupakan pengumuman dari presiden untuk melaksanakan UUD, melaksanakan Tap MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah. Apakah perlu diberi "baju hukum" seperti terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hukum Tata Negara yang seharusnya menjawab. (M Sjafe'i Hassanbasari)

Maklumat Presiden 14 November 1945

Tanggal 11 November 1945 BP-KNIP mengeluarkan pengumuman Nomor 5 tentang pertanggungjawaban Materi Kepada Perwakilan Rakyat. Dalam pemikiran saat itu, KNIP diartikan sebagai MPR. Sementara itu, BP-KNIP disamakan dengan DPR. Jika demikian, secara tidak langsung BP-KNIP dengan mengeluarkan Pengumuman Nomor 5 telah meminta peralihan pertanggungjawaban menteri-menteri dan Presiden BP-KNIP Anehnya, Presiden Sukarno menyetujui usul tersebut dan mengeluarkan Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945. dengan persetujuan tersebut sistem cabinet presidensial dalam UUD 1945 telah diamandemen menjadi sistem cabinet parlementer. Ini terbukti setelah BP-KNIP mencalonkan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri. Akhirnya, cabinet presidensial Sukarno-Hatta jatuh dan digantikan oleh kabinet parlementer dengan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri pertama. Kejadian ini adalah awal penyimpangan UUd 1945 dalam Negara Republik Indonesia.

TUJUAN KEDATANGAN TENTARA SEKUTU ke INDONESIA

Setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Perjuangan bangsa Indonesia tidak hanya sampai pada titik ini masih banyak gejolak pemberontakan dan konflik terhadap kolonial penjajahan. Begitu banyak tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia yang datang dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah pendaratan tentara Sekutu yang akan melucuti senjata Jepang yang diikuti oleh kedatangan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang menginginkan menjajah Indonesia kembali, bagaimana perjuangan bangsa berikutnya......berikut penjelasannya :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0rex3oj1-I1Nh1pT34ddHxAcTkhOw0Q4y4og34sJO1Q-8EJRTSL_9jHjAV6Gs5a2yB3fVx2oup1JG49-hCKhsE7ujIZ4gRTgV84LrxFdLt9PwMGpehr5GjPxERy0h51TROcBs5BxnteXq/s1600/nica1.jpg
Belanda pada saat itu memeiliki 1000 alasan untuk menjajah kembali Indonesia. Berdasarkan perjanjian Postdam (Agustus;1945) Belanda masih memegang kekuasaan pada teritorial Hindia Belanda.





(September;1945) Dr.Hubertus J. van Mook yang menyatakan kepada Laksamana Mountbatten untuk tidak mengakui Republik Indonesia karena dianggap boneka Jepang.
(30 September;1945) untuk mempengaruhi dunia Kedaulatan Belanda yang berkedudukan di London menyatakan melalui radio BBC , bahwa Ir.Soekarno dan para pendukungnya adalah pemerintahan boneka Jepang.
Di lain pihak Indonesia memiliki prinsip bahwa "kemerdekaan ialah hak segala Bangsa, maka segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.''

Tujuan tentara sekutu datang ke Indonesia kembali adalah:
  1. Menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Jepang.
  2. Membebaskan tawanan perang dan interniran sekutu.
  3. Melucuti senjata Jepang dan mengumpulkan orang Jepang untuk dikembalikan ke negara asalnya.
  4. Menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang di depan pengadilan Sekutu.
  5. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
Keadaan bangsa Indonesia bertambah buruk ketika tentara NICA ikut langsung mendarat di Indonesia dan mempersenjatai kembali para tentara KNIL. Jenderal Christison memiliki taktik untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945 oleh siasat itu mereka dapat masuk kembali ke Indonesia. Mereka mendarat di kota-kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dll. Namun di kota-kota tersebut terjadi pertempuran dahsayat antara bangsa Indonesia dan tentara sekutu.

New iPad Debuts in China

After settling its legal battles over ownership of the iPad trademark in the country, Apple released the latest version of the iPad in China last Friday. Customers were required to place orders in advance to prevent crowding.
Several dozen shoppers surrounded the Apple stores in Beijing and Shanghai, which opened at exactly 8 a.m. local time. The scene was in contrast to the chaos that happened last January when Apple’s Beijing store released the iPhone for the first time, where customers shouted and threw eggs after managers delayed the opening due to safety concerns.

In fact, the 30 customers waiting in line in the Shanghai store were outnumbered by the reporters covering the event, leaving the buyers surprised at how nobody else were waiting.
Apple had to undergo a major legal hurdle to sell the iPad in China, as it paid $60 million to settle a dispute with a local company over ownership of the iPad trademark. The Cupertino-based company said it bought global rights to the iPad name from Shenzhen Proview Technology Ltd in 2009, but Chinese authorities say the rights in China never pushed through.
Source: Newsday

http://www.gadget.com/2012/07/24/new-ipad-debuts-in-china/

Jatuhnya Pemerintah Orde baru

Latar Belakang
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga tahun 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski dibarengi dengan praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Hal ini terlihat dari peningkatan pendapatan perkapita rata-rata 4,3% per tahun pada tahun 1965-1988. Dari tahun 1988, perekonomian tumbuh hampir 7% dalam setahun. Keberhasilan program keluarga berencana dan langkah-langkah untuk meningkatkan produksi beras secara dramatis menurunkan maltnutrisi (kekurangan gizi) dan kematian bayi. Prestasi terbaik Soeharto adalah penurunan angka kemiskinan. Sejumlah ekonom memperkirakan, lebih dari 70% masyarakat Indonesia hidup dalam kemiskinan pada tahun 1970. Pada tahun 1990, angka tersebut menurun menjadi sekitar 15%. Di pertengahan tahun 1980-an, Soeharto dijuluki sebagai bapak pembangunan (Andersen, Ben.dkk, 1998 :71).


Pada pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda Asia yang menyebabkan kondisi ekonomi negara-negara Asia termasuk Indonesia sangat memprihatinkan. Adapun krisis ini disebabkan karena keterikatan sistem ekonomi Indonesia atau global dimana IMF, Bank Dunia, dan lembaga keuangan lain menjadi salah satu sumber keuangan Indonesia dalam pembiayaan pembangunan nasional. Krisis ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai mata uang rupiah bersamaan dengan melambungnya nilai mata uang dollar serta diikuti dengan melambungnya harga-harga kebutuhan sembako, harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Ada dua pendapat yang menyatakan terjadinya krisis ekonomi di Asia, khususnya di Indonesia adalah: Pertama, pendapat ini menekankan bahwa krisis ini tidak dipengaruhi oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah atau faktor-faktor internal suatu negara, tetapi lebih disebabkan oleh para pelaku di pasar modal. Seperti yang dikemukakan oleh Obstfeld (1996) dan Griffith-Jones (1998), serangan spekulator tidak didorong oleh lemahnya fundamental ekonomi tetapi lebih disebabkan oleh ekspektasi memburuknya kondisi makroekonomi suatu negara, yang ironisnya merupakan dampak dari perilaku para spekulan tersebut, sehingga para spekulan dapat melakukan aksi profit taking yang sebesar-besarnya sebelum krisis dan pasca krisis. Kedua, pendapat ini dikemukakan oleh ekonom terkenal yaitu Krugman (1998) yang menyatakan bahwa krisis ini adalah ‘hukuman’ bagi ‘dosa’ yang dilakukan negara-negara Asia pada umumnya. Pihak swasta meyakini pemerintah akan membantu dan memberikan jaminan sepenuhnya terhadap kewajiban luar negeri apabila mereka terlibat kesulitan (Subandoro, Ali Winoto dalam Selo Soemardjan, 1999 : 78).
Kontradiksi internal yang demikian menciptakan keretakan pada dinding sistem politik Orde Baru. Kontradiksi ini juga memberi keterbukaan politik bagi kelompok-kelompok yang pro-reformasi, khususnya kaum intelektual, aktivis sosial, politik, dan mahasiswa yang berjuang untuk demokrasi yang lebih baik sejak awal Orde Baru. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakatpun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organisasi mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya Presiden tercapai, tapi perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi Semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat militer bersenjata (Hikam, Muhammad. 1999: 85).
Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat (Ricklefs, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru?
2. Bagaimana keadaan Bangsa Indonesia pada era reformasi?
Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang kami harapkan dapat tercapai adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru.
2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan Bangsa Indonesia pada era reformasi.

2.1 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Runtuhnya Rezim Orde Baru
Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan demokratisasi disegala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadikan perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto antara lain sebagai berikut :
1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/US$ namun, nilai ini kembali merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US$. Dari sini, rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tengelam hingga level sekitar Rp 17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur dan hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka (Ricklefs, 2005: 650). Akibat krisis ini organisasi perbankan kita menjadi berantakan yang sampai sekarang belum dapat di konsolidasi kembali. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika tetap di dalam tingkat yang amat rendah, sehingga harga-harga keperluan umum, terutama sembako, dalam hitungan rupiah tetap tinggi.
Krisis yang melanda Indonesia juga disebabkan karena praktek KKN. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) adalah istilah yang paling populer yang disuarakan oleh kaum reformis untuk segera diberantas. Kolusi diantara penguasa pada masa ORBA dengan para pengusaha hanya menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan rakyat hanya menerima akibat buruk dari praktek tersebut. Demikian juga, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah menguras sumber ekonomi negara sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat tidak sampai kepada sasarannya. Adapun nepotisme adalah praktek penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga atau golongan untuk memperoleh jabatan serta kesempatan-kesempatan dalam dunia usaha. Penderitaan rakyat akibat krisis ekonomi dibaca dengan baik oleh kelompok intelektual terutama mahasiswa.
Dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah pada ketersediaan cadangan devisa. Setelah mengalami beberapa kegagalan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar, maka cadangan devisa negara merosot dari sekitar 20 milyar dollar AS pada pertengahan 1997 menjadi sekitar 14 milyar pada pertengahan 1998. Hal ini juga merupakan dampak dari memburuknya neraca modal Indonesia terhadap penurunan arus modal masuk secara drastis maupun melonjaknya arus modal keluar. Runtuhnya perbankan nasional juga mendorong krisis kepercayaan yang akhirnya berdampak pada masalah likuiditas perbankan yang sangat serius. Bank Indonesia terpaksa melakukan langkah penyelamatan melalui penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang melonjak dari sekitar 7 trilyun rupiah pada September 1997 menjadi 140 trilyun rupiah pada bulan Juli 1998. Pasar modal juga terkena imbas krisis. Diperkirakan nilai dari aset finansial menurunkan sekitar 70%. Harga saham dari perusahaan publik, yang seharusnya cukup aman mengingat dukungan penuh dari pemerintah, turun sekitar 66%.
Secara keseluruhan perekonomian juga mengalami perlambatan pertumbuhan yang sangat berarti. Pada triwulan pertama dan kedua tahun 1997 Indonesia masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sekitar 8,5% dan 6,8%. Namun pada triwulan ketiga dan keempat, perumbuhan ekonomi Indonesia menurun menjadi 2,5% dan 1,4%. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 adalah 4,6% yang merupakan rekor paling rendah selama lima tahun terakhir. Adanya ketidakseimbangan internal dalam perekonomian menyebabkan tekanan yang cukup berat terhadap inflasi. Tingginya inflasi secara signifikan disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar yang cepat tetapi lebih banyak didorong oleh sisi penawaran, seperti imported inflation, terputusnya sistem distribusi antara produsen dan konsumen untuk beberapa bahan pokok, berhentinya produksi mengakibatkan mahalnya bahan baku. Faktor lain yang sangat penting dalam mendorong laju inflasi adalah faktor ekspektasi masyarakat berkaitan dengan situasi politik dan sosial yang bergejolak maupun permasalahan konsistensi kebijakan pemerintah (Subandoro, Ali Winoto dalam Selo Soemardjan, 1999: 92).
2. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998
Untuk dapat mencermati pergerakan mahasiswa dapat dibedakan menjadi empat periode. Periodisasi ini dibuat dengan mendasarkan pada momen-momen penting dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu : tanggal Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998, Insiden berdarah Universitas Trisakti 12 Mei dan mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Periode pertama adalah periode sebelum 1 Maret 1998. Pada awal periode itu, isu yang ditampilkan belumlah menyangkut substansi reformasi melainkan sebatas pada kondisi aktual saat itu seperti: kelaparan di Irian Jaya, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, menuntut pemerintah untuk menurunkan harga-harga barang, dan menindak penimbun sembilan bahan pokok (sembako). Contonya adalah aksi 150 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang melakukan mimbar bebas di kampus Baranangsiang pada hari Rabu, 3 Desember 1997 dengan poster-poster yang dipajang bertuliskan: Berantas Korupsi dan Kolusi, Tindak Tegas Mega Koruptor di BI, Tindak Tegas Pembakaran Hutan, Tindak Tegas Aborsi Sampai ke Akar-akarnya. Pada hari Senin 12 Januari 1998 sebanyak 24 orang mahasiswa IPB Bogor mendatangi balaikota Bogor dengan mempermasalahkan merebakknya gambar-gambar porno yang terpasang disejumlah bioskop dan maraknya praktik prostitusi di beberapa tempat di wilayah Bogor. Aksi-aksi demo tersebut bersifat lokal sporadis dan belum memiliki dampak berantai kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya, baik yang dari satu perguruan tinggi ataupun ke perguruan tinggi lainnya. Di samping jumlah partisipan yang cenderung terdiri atas sebagian kecil mahasiswa dari satu perguruan tinggi, aksi-aksi ini belum memiliki sebuah kerangka dan agenda aksi yang terjadwal.
Beberapa mahasiswa juga melakukan aksi mogok makan seperti 2 orang mahasiswa Universitas Parahiyangan, 6 mahasiswa di UGM, 7 mahasiswa di Universitas Airlangga pada awal Maret. Aksi-aksi mahasiswa yang mogok makan ditunjukkan dengan menutup mulut mereka dengan masker/uang sebagai sindiran terhadap peserta SU MPR. Menjelang berakhirnya SU MPR yang dimunculkan beberapa kampus seperti di UNAIR adalah permintaan agar kebinet mendatang bersih, jujur, tulus, tidak sektarian, mengacu kepada kepentingan rakyat, reformasi total, mengatasi pengangguran dan korupsi. Periode kedua adalah 12 Maret 1998-12 Mei 1998. setelah sempat reda selama hampir satu minggu, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi. Isi-isu yang dimunculkan pada periode ini berkenaan dengan kredibelnya kabinet Pembangunan VII karena dinilai sarat dengan nepotisme dan koncoisme. Periode ini juga ditandai dengan kejenuhan mahasiswa dalam melakukan aksi di dalam kampus. Keinginan mahasiswa untuk berdemonstrasi di luar kampus sudah tentu memicu bentrokan dengan aparat keamanan. Salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar pada periode ini terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik sejak 29 April hingga 7 Mei 1998. Aksi ini sempat disebut sebagai aksi yang paling beringas yang melibatkan aksi saling melempar batu antara mahasiswa dan aparat, penembakan gas air mata, pembakaran 2 motor aparat keamanan dan lain sebagainya. Dalam periode ini isu-isu lain yang muncul adalah mengenai dialog yang diprakarsai oleh ABRI dan peristiwa penculikan para aktivis. Sebagaian besar mahasiswa dari perguruan tinggi yang telah mapan seperti UGM, UI, IKIP Bandung, IAIN, dan Unpad tidak hadir dalam dialog tersebut. Hal ini disebabkan karena :
ABRI selama ini adalah alat dari kekuasaan ORBA sementara sebagaian besar mahasiswa Indonesia telah menolak dan menganggap bahwa ORBA telah kehilangan kredibilitasnya untuk memimpin sebuah negara. Jika mereka melakukan dialog berarti mereka masih mengakui adanya ORBA.
ABRI adalah instumen negara dimana selama ini selalu tunduk dan patuh kepada Presiden Soeharto selaku panglima tertinggi ABRI. Mahasiswa berkeyakinan bahwa ABRI tidak akan dapat menindaklanjuti keinginan masyarakat yang disuarakan oleh mahasiswa jika hasil dari dialog tersebut akan menyinggung perasaan Soeharto. Menjelang akhir periode ini yaitu mendekati insiden Trisakti 12 Mei 1998 mahasiswa melontarkan isu lebih jauh lagi mengenai pembubaran kabinet karena dianggap tidak dapat menyelesaikan Krisis Ekonomi serta menuntut dilakukanya Sidang Istimewa MPR .
Periode ketiga, periode ini ditandai dengan terjadinya peristiwa insiden Trisakti tanggal 12 Mei 1998, dimana ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal Orde Baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi mereka dihadang oleh aparat kepolisian yang mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan pengerusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa.
Periode ini juga ditandai oleh gerakan mahasiswa dengan menduduki Gedung DPR/MPR sejak tanggal 18 Mei sampai dengan 22 Mei 1998. Dalam keadaan yang mulai terkendali setelah mencekam selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari Senin siang, ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR/MPR dan dihadang oleh tentara yang bersenjata lengkap, bukan lagi aparat kepolisian. Tuntutan mereka yang utama adalah pengusutan penembakan mahasiswa Trisakti, penolakan terhadap penunjukan Soeharto sebagai Presiden kembali, pembubaran DPR/MPR 1998, pembentukan pemerintahan baru, dan memulihkan ekonomi secepatnya.
Kedatangan ribuan mahasiwa ke gedung DPR/MPR saat itu begitu menegangkan dan nyaris terjadi insiden. Suatu saat tentara yang berada di depan gedung atas tangga sempat menembakan senjata mereka sehingga membuat panik para wartawan yang segera menyingkir dari arena demonstrasi. Mahasiswa ternyata tidak panik dan tidak terpancing untuk melarikan diri sehingga tentara tidak dapat memukul mundur mahasiswa dari Gedung DPR/MPR. Akhirnya mahasiswa melakukan pembicaraan dengan pihak keamanan selanjutnya membubarkan diri pada sore hari dan pulang dengan menumpang bus umum.
Keesokan harinya mahasiswa yang mendatangi gedung DPR/MPR semakin banyak dan lebih dari itu mereka berhasil menginap dan menduduki gedung itu selama beberapa hari. Keberhasilan meduduki gedung DPR/MPR mengundang semakin banyaknya mahasiswa dari luar Jakarta untuk datang dan turut menginap di gedung tersebut. Mereka mau menunjukkan kalau reformasi itu bukan hanya milik Jakarta tapi milik semua orang Indonesia.
Periode keempat, Soeharto akhirnya menyerah pada tuntutan rakyat yang menghendaki dia tidak menjadi Presiden lagi, namun tampaknya tak semudah itu reformasi dimenangkan oleh rakyat Indonesia karena ia meninggalkan kursi kepresidenan dengan menyerahkan secara sepihak tampuk kedaulatan rakyat begitu saja kepada Habibie. Ini mengundang perdebatan hukum dan penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa Habibie bukan Presiden Indonesia. Mereka tetap bertahan di gedung DPR/MPR sampai akhirnya diserbu oleh tentara dan semua mahasiswa digusur dan diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling banyak yang menampung mahasiswa pada saat evakuasi tersebut adalah kampus Atmajaya Jakarta yang terletak di Semanggi.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang Dwifungsi ABRI/TNI karena Dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa, masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atmajaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atmajaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atmajaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atmajaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyat peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak menganggap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara". Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing.
Krisis Politik yang Terjadi di Indonesia
Kekerasan politik yang berdimensi rasial sesungguhnya bukanlah hal yang baru di dalam sejarah politik di Tanah Air kita, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Kejadian-kejadian yang dilaporkan secara luas akhir-akhir ini berkaitan dengan aksi kerusuhan sebelum, selama, dan sesudah jatuhnya rezim Orde Baru sebenarnya telah dikhawatirkan oleh banyak pihak akan muncul. Meskipun demikian, tak pernah dibayangkan bahwa kekerasan politik yang berwarna rasial itu akan berlangsung sedemikian mengerikan, khususnya terjadi pembunuhan serta perkosaan terhadap warga etnis Tionghoa. Tak pelak lagi, kekerasan politik rasial merupakan salah satu persoalan yang senantiasa menyatu pada kehidupan politik selama ia tidak diselesaikan secara terbuka, proporsional, dan rasional. ORBA yang dibentuk menyusul tumbangnya rezim Orde Lama dibawah Soekarno, secara formal menyatakan ingin melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan konstitusional, termasuk dalam masalah hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dalam perkembangannya selama 32 tahun, ORBA ternyata masih melakukan kesalahan-kesalahan yang sama dan bahkan dalam kaitan dengan masalah rasial terjadi yang lebih besar.
Dalam kerangka kesenjangan itulah dapat dipahami mengapa kekerasan politik yang berdimensi rasial yang menjadi bersifat laten di bawah Orde Baru. Oleh kerena itulah negara mengambil kebijakan pengkaplingan politik terhadap kelompok-kelompok masyarakat baik pada tataran simbolik maupun pragmatik, sebagai alat kontrol selain korporatisasi pada tataran kelembagaan. Pengkaplingan itulah yang kemudian menghasilkan wacana-wacana, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek politik diskriminatif terhadap warga negara sehingga hak-hak asasi mereka terabaikan. Selain itu sebagain besar masyarakat tidak percaya pada pemerintahan Soeharto yang di identikan dengan tindakan KKN. Kepercayaan masyarakat pada ABRI sebagai pengawal keamanan dan dalam Dwifungsinya sebagai stabilisator dan dinamosator pembangunan menguap setelah terbuka kasalahan-kesalahan dan kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Dalam keadaan pemerintah dan ABRI kehilangan sebagian besar kepercayaan rakyat timbul keberanian rakyat di berbagai daerah untuk menggugat Pemerintah Pusat agar memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah dengan pembagian yang lebih banyak dari pendapatan asal daerah yang dalam masa pra-reformasi sebagian besar atau malahan seluruhnya diambil oleh pemerintahan pusat. Tuntutan otonomi itu malahan ada yang sampai pada tuntutan status bukan saja sebagai daerah yang berotonomi luas, tetapi sebagai negara bagian dalam struktur negara federal.
Manakala struktur politik mulai merapuh atau mengalami krisis, juga deprivasi dalam masyarakat telah memuncak, terjadilah letupan-letupan sosial yang berdampak politik dan membawa keluar segala keburukan serta kebobrokan yang disimpannya. Salah satu manifestasinya adalah kerusuhan serta kekerasan sosial berdimensi rasial dan etnis sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada masa pra-pemilu 1997 yang kemudian disusul kejadian-kejadian sebelum jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998.
Faktor Sosial
1. Meningkatnya Angka Kemiskinan.
Kenaikan angka penduduk miskin yang melonjak dengan pesat disebabkan oleh beberapa hal :
Menurunnya pendapatan riil penduduk diperkirakan untuk periode 1997-1998 terjadi penurunan pendapatan riil rata-rata sebesar 10-14% dalam nilai konstan.
Naiknya jumlah pengangguran, terutana di kota-kota besar menyebabkan munculnya kelompok-kelompok miskin dengan perkiraan sekitar 15 juta orang pada tahun 1998.
Kenaikan inflasi, terutama untuk kelompok pangan yang jauh lebih tinggi dari tingkat inflasinya sendiri. Diperkirakan untuk harga beras telah meningkat hampir 200%. Hal ini menyebabkan turunnya daya beli masyarakat desa maupun kota dan mendorong mereka dalam kelompok hidup miskin.
2. Kelompok Rawan Pangan.
Melihat lebih dalam lagi ke dalam distribusi kemiskinan yang digolongkan sebagai keluaraga pra sejahtra dan sejahtra meningkat menjadi hampir 17,5 juta. Kelompok masyarakat rawan pangan yang naik secara drastis ini disebabkan oleh kombinasi antara krisis ekonomi yang menurunkan daya beli dan faktor alam yang tidak menguntungkan. Hasil estimasi secara konservatif yang dilakukan oleh World Food Program yang dilakukan di 35 wilayah DATI II di 15 provinsi menunjukan bahwa 7,5 juta orang dari sekitar 19,5 juta populasi di wilayah tersebut akan mengalami masalah rawan pangan. Kemiskinan absolut sangat erat kaitanya dengan maslah rawan pangan dan kekurangan gizi. Masalah rawan pangan sebagain besar menimpa wanita dan anak-anak.
3. Meledaknya Angka Pengangguran
Tingkat pengangguran diperkirakan mencapai 15 juta orang atau sekitar 16,5% dari angkatan kerja pada pertengahan 1998. Angka ini jelas lebih rendah dari angka sebelumnya. Hal ini diperburuk lagi mengingat masalah sebenarnya terletak pada semi pengangguran yang jauh lebih besar dari angka pengangguran dan merupakan indikasi kearah kelompok penduduk miskin. Hal ini terutama terjadi di perkotaan, dimana sebagaian besar pengangguran biasanya tetap melakukan pekerjaan tetapi dengan beban kerja yang sangat ringan dan upah yang minim. Pada tahun 1996 diperkirakan sekitar 37% dari pekerja sebenarnya berada dalam kondisi semi pengangguran dan angka ini diperkirakan lebih besar lagi pada situasi krisis seperti ini.
4. Menurunnya Murid Sekolah
Konsekuensi dari menurunnya pendapatan riil adalah menurunnya tingkat pendaftaran sekolah. Hal ini terutama desebabkan oleh tekanan kepada anak untuk membantu mencari nafkah terutama bagi keluarga miskin. Pada tahun 1998/1999 diperkirakan menjadi kenaikan murid putus sekolah dari sekitar 2,6% menjadi 5,7% untuk murid SD atau kenaikan sebesar 119,2%. Sedangkan untuk murid SMP naik 5,1% menjadi 13,3% atau kenaikan sebesar 125%. Secara absolut diperkirakan sekitar 17,5 juta murid usia sekolah akan putus sekolah untuk mencari penghasilan serta 400 ribu murid sekolah tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Bahkan jika dilakukan penghapusan uang sekolah, kenaikan murid usia sekolah diperkirakan akan tidak meningkat drastis karena semakin tingginya biaya-biaya kesempatan (opportunity cost) di lapangan kerja.
5. Mutu Kesehatan
Di bidang kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah telah menyebabkan kenaikan drastis harga obat-obatan, vaksin, kontrasepsi. Survei kecil yang dilakukan di Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan kenaikan harga obat rata-rata hampir tiga kali lipat. Sedemikian parahnya masalah kelangkaan obat sehingga beberapa pusat kesehatan tutup. Lebih parah lagi, menurunnya tingkat pendapatan riil menyebabkan daya beli kelompok penduduk miskin untuk mendapatkan fasilitas kesehatan berkurang. Kondisi yang sama terjadi pada golongan wanita, terutama wanita hamil yang akan mempertinggi resiko kematian bayi akibat buruknya sarana kesehatan. Berita-berita di surat kabar menyatakan bahwa bertambah banyak jumlah pasien yang memilih keluar dari rumah sakit karena kurang dan mahalnya obat-obatan.
2.2 Keadaan Bangsa Indonesia Pada Era Reformasi
Ketika Soeharto turun dari kursi kepresidenannya pada tanggal 21 Mei 1998, tak seorangpun yang mengira bahwa dia akan mengakhiri masa jabatannya dengan begitu cepat dan tragis. Sebagai salah seorang penguasa terlama di dunia, dia cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang keenam pada tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi, dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, rezim ORBA runtuh. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, Presiden yang sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan ia ditinggalkan seorang diri. Bahkan konco terdekatnya, yakni Harmoko memutuskan untuk memaksanya turun tahta. Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat agar memberi kesempatan terakhir padanya untuk menyelamatkan tahta gagal ketika pada malam tanggal 20 Mei 1998, 14 anggota kabinetnya memberikan ultimatum apakah Soeharto yang turun dari tahta atau mereka yang turun. Pada malam yang sama, pimpinan militer juga menemui dan meminta Soeharto untuk turun. Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memenuhi permintaan itu. Akan tetapi, dengan suatu janji bahwa dia dan keluarganya akan dihormati dan dilindungi.
Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. B. J. Habibie yang menjadi Wakil Presiden dan sebelumya menjabat sebagai Mentri Riset dan Teknologi, menggantikannya sebagai Presiden baru. Jatuhnya pilihan kepada B. J. Habibie merupakan suatu hal yang kontroversial. Habibie sesungguhya mewarisi suatu pemerintahan yang mengalami kerusakan total serta bersifat multidimensioal baik dalam segi moniter, ekonomi, sosila, politik, dan juga mental (Amin Rais, 1998: 29). Proyek kebanggaan Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) masalnya, sering menjadi sasaran kritik karena diduga telah menyalahgunakan anggaran negara (Hikam, Muhamad, 1999: 71). Pemerinthan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Triaakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat.
Masa reformasi baru terlaksana ketika Indonesia setelah pemerintahan Soeharto. Dimana B. J. Habibie sebagai presiden Indonesia yang ketiga, memperkenalkan suatu reformasi yang menjanjikan suatu masyarakat yang lebih demokratis, adil, dan terbuka. Kemudian beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisme parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Ketika Habibie menggantikan mentornya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya. Isu-isu itu adalah pertama masa depan reformasi; kedua masa depan ABRI; ketiga masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia; empat masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; dan yang kelima masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Tujuh belas bulan kemudian, isu pertama menunjukkan perkembangan positif, isu kedua mengarah kepada pengurangan peranan militer dalam bidang politik, isu ketiga telah terselesaikan dalam konteks Timor-Timur dan tidak dalam konteks daerah lain, isu keempat belum terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan. Dalam perkembangan masa pemerintahan B. J. Habibie, dimana keengganan untuk mengadili Soeharto, kelambatan investigasi kasus menghilangnya aktivis-aktivis politik, kasus Trisakti, kerusuhan Mei 1998, dan kegagalan Habibie mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat, harapan yang sebetulnya tidak realistis, menimbulkan tuntutan diadakannya sidang istimewa MPR untuk memberhentikan Habibie dan untuk memilih kepemimpinan nasional yang baru.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, banyak mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Hal ini dapat dilihat dari munculnya era reformasi yang mengalami perubahan-perubahan seperti berikut ini:
Dalam Bidang Ekonomi
Dalam perdebatan-perdebatan mengenai ekonomi, sering diperdebatkan apakah ekonomi menjadi prasyarat keamanan ataukah sebaliknya keamanan menjadi prasyarat hidupnya ekonomi. Apabila ekonomi rusak dan keluarga-keluarga dalam masyarakat tidak mungkin memenuhi kebutuhanya, pelanggaran-pelanggaran hukum amat sukar dicegah. Tetapi, kalau keadaan umum tidak aman kegiatan-kegiatan ekonomi pasti terganggu, bahkan mungkin buat sementara terhenti. Keamanan umum di Indonesia dalam satu tahun sesudah Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden mengalami banyak gangguan, sedangkan ekonomi umum belum mampu bangkit kembali dari pukulan berat oleh krisis moneter. Nilai rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa bulan sesudah pergantian tahun 1998 sampai 1999 relatif stabil tetapi pada tingkat yang tinggi antara Rp. 7.000 dan Rp. 8.000 sehingga belum dapat membantu ibi-ibu rumah tangga dari kelas rendah yang penghasilan kerjanya dalam rupiah belum cukup untuk mengejar harga sembako yang tetap tinggi. Karena keadaan ekonomi yang demikian, jumlah anak jalanan dan preman tidak berkurang, tetapi malah bertambah. Para petani pangan juga banyak yang mengeluh karena tingginya harga pupuk dan karena saingan harga beras dari luar negeri yang dapat masuk ke Indonesia dengan bebas pajak atau dengan pajak yang rendah.
Dalam Bidang Politik
Suasana politik sesudah berhentinya Presiden Soeharto penuh dengan kejadian-kejadian yang menimbulkan frustasi dikalangan Pemerintah, ABRI, partai-partai politik dan masyarakat umum. Di antara kejadian-kejadian itu dapat disebut beberapa yang membawakan disintegrasi politik berkepanjangan, misalnya naiknya Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto, pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan, timbulnya partai-partai politik baru, tawaran kepada rakyat Timor-Timur untuk mendapatkan otonomi luas atau kemerdekaan, gerakan di Irian Jaya dan Aceh untuk mendirikan negara merdeka baru lepas dari Republik Indonesia; Rencana Pemilu 1999 dan pencalonan Preseden. Disamping itu, hampir setiap hari orang Jakarta dan kota besar lainnya dapat membaca di surat kabar, majalah atau tabloid tentang politik pemerintahan Soeharto yang merugikan negara dan rakyat karena bertentangan dengan sistem demokrasi. Yang amat menykitkan hati masyarakat umum adalah kekayaan senilai berpuluh milyar dollar Amerika yang menurut berita-berita pers dikumpulkan oleh Soeharto dan oleh anak-anaknya di bawah lindunngan Soeharto sebagai kepala negara sampai tidak akan habis dalam tujuh turunan. Padahal, rakyat dilanda krisis moneter dan krisis ekonomi yang menaikkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan dari 25.000.000 menjadi 100.000.000 dalam waktu kurang dari satu tahun 1997-1998. seruan ”Usut Kekayaan Soeharto” dan ”Adili Soeharto” dimuat berkali-kali di dalam media cetak dan didengar dalam demontrasi-demontrasi para mahasiswa. Suara rakyat itu menggema di Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 November 1998 sehingga diterbitkan suatu ketetapan MPR yang memerintahkan kepada Presiden untuk mengusut tuduhan-tuduhan itu sampai tuntas. Namun, sampai lebih dari setengah tahun kemudian tidak tampak gerakan yang serius dari pemerintah atau Jaksa Agung yang serius untuk memenuhi ketetapan itu.
Dalam Bidang Sosial
Sejak Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 sampai satu tahun kemudian keadaan sosial di indonesia selalu diganggu oleh berbagai peristiwa yang meresahkan masyarakat banyak. Jumlah kemiskinan yang setahun lalu mencuat samapi 100 juta belum menunjukkan gejala menurun. Jumlah penganggur sebagai korban PHK tidak kurang dari tujuh juta, dengan kebanyakan di antara mereka bermukim di kota-kota besar.
Banyaknya jumlah penduduk miskin dan korban PHK, banyak keluarga terpaksa mengurangi makan sehari-hari atau memilih maknan yang berkualitas gizi rendah, juga buat anak-anak di bawah umur sepuluh tahun yang sedang sangat membutuhkan masukan gizi yang cukup sebagai landasan kesehatan badan mereka. Dikhawatirkan, kalau kekurangan gizi berlangsung lebih lama generasi anak-anak dikemudian hari akan menjadi generasi anak-anak yang lemah. Kekurangan gizi yang berkepanjangan tidak hanya memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan tubuh anak, akan tetapi juga intelegensi atau daya pikir mereka. Selain itu, gejala sosial yang menarik perhatian adalah di bidang keamanan dan ketertiban umum. Tahun 1999, kepolisian RI secara organisatoris dan operasional dipisahkan dari angkatan-angkatan bersenjata. Istialah ABRI tidak lagi berlaku dan diganti dengan TNI yang meliputi angkatan darat, laut dan udara. Di samping itu, kepolisian RI berdiri sendiri meskipun secara administratif tetap di bawah pimpinan Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Akibat krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir, kekerasan sosial, krisis politik yang berkepanjangan dan keraguan yang luas tentang kejujuran dan keabsahan pemerintah telah memudarkan harapan akan reformasi. Pada bulan Novenber 1999, Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi presiden ke-4. Gus Dur, seperti biasa menampilkan intelegensia, kekocakan, keterbukaan, dan komitmen terhadap pluralisme serta kebencian terhadap dogmatisme. Namun, sikap-sikap positif ini juga diiringi dengan kecenderungan untuk bertindak seenaknya, kegigihan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, keterbatasan karena buta, masalah kesehatan secara umum, kurangya pengalaman dalam masalah pemerintahan, dan kesulitan menemukan orang-orang yang jujur dan kompeten untuk berada dalam pemerintahannya. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR atau DPR. Pada tanggal 29 Januari 2001, ribuan demonstran berkumpul di gedung MPR dan meminta Gus Dur untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi. Dibawah tekanan yang besar, akhirnya Gus Dur lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri. Oleh karena itu, pada bulan Juli 2001 Gus Dur dipecat sebagai presiden oleh MPR dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden Indonesia yang ke-5. Akan tetapi, sementara itu masalah bangsa terus menghadang.
Pada periode Juli 2001 sampai pada pemilihan presiden tahun 2004, presiden Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Pemerintahannya harus menghadapi tantangan-tantangan yang berat sekali, seperti dalam keadaan ekonomi dan politik Indonesia yang nyata, siapa saja yang menjadi presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi dimasa pemerintahan Megawati adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang lazim disebut KKN. Ekonomi Indonesia mengalami kesulitan sejak 1997 dan pemerintahan Megawati belum bisa memulihkannya seperti sebelum krisis itu. Namun demikian ada kemajuan dalam beberapa hal. Meski tetap lambat, investasi sudah mulai mengalir, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Akan tetapi, pembangunan yang lebih pesat sangan dibutuhkan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang berjaln terus, pembangunan diperlukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Sewaktu Indonesia menghadapi banyak sekali tantangan seperti yang dibicarakan di atas, demokrasi mengakar dengan cara yang mengesankan. Tahun 2004 adalah tahun pemilihan, pemilihan umum pada bulan April untuk Dewan Perwakilan Rakyat pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat provinsi dan pada tingkat kota atau Kabupaten, dan instansi baru Dewan Perwakilan Daerah di pusat. Dari sudut administrasipun pemilu bulan April 2004 merupakan tantangan yang besar sekali. Pada masa ini terjadi beberapa penyelewengan, kesulitan dan kesalahan terjadi. Akan tetapi pada umumnya, pemilu dilaksanakan dengan tertib dan secara seharusnya. Kesulitan yang dihadapi pada pemilu kali ini salah satu penyebabnya adalah banyaknya parpol yang ikut dalam pemilu, seperti partai Golkar, PDIP, PKB, PPP, Demokrat, PKS, PAN, PDS, dan lain-lain.
Pada pemilihan presiden putaran pertama yang diselenggarkan pada bulan Juli 2004 ada lima pasangan calon presiden dan wakil presiden antara lain: Wiranto dari Golkar dengan Salahudin Wahid dari NU, Megawati dari PDIP dengan Hasyim Musadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo Husodo dari Golkar, Susilo Bambang Yudhoyono dari partai Demokrat dengan Jusuf Kalla dari Golkar dan NU, Hamzah Haz dari PPP dengan Agum Gumelar dari TNI (Ainum Nanjib,1999: 93). Dalam putaran pertama ini pasangan SBY-JK mendapat suara terbanyak kemudian diikuti oleh Megawati, Wiranto, Amien Rais dan Hamzah Haz. Sedangkan pemilihan presiden putaran kedua yang di selenggarakan pada bulan September 2004 pasangan yang terpilih adalah pasangan Susilo Bambang Yodhoyono berhadapan dengan pasangan dari Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada hasil akhir pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kala yang menang dengan meraih suara sebesar 60,9% (Akbar Faizal,2005: 19).
Dengan dipilihnya SBY oleh rakyat Indonesia secara langsung dan dengan dukungan sekuat itu, maka pada tanggal 20 Oktober SBY dilantik sebagai presiden Indonesia ke-6 dengan amanat rakyat yang paling kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka.


source : http://kavie-design.blogspot.com/2010/12/runtuhnya-orde-baru.html